Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi
Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang
Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang
gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah
berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat
berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan
berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat
ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor
kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk
jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang,
ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,”
tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan.
Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai
yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden
Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah
itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan,
tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia
seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden
Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati
gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden
Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden
Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya.
“Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di
tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya
telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar
ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat
penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong
dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah
membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung
berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil
seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati
wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah
kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk
mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah
membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden
Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau
membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban
adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala
kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat
tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak
diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang
berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan,
tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki
berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan
terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki
itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang
diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki
yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan
kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara
misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki
misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana,
Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat
kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping
yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini
sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong
kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “
Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh.
Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta
tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap
pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan
membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang
lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di
sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan
tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu
di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang
lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya.
“Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat
kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang
luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan
mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan
Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah
kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda
dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda
diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati
Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong..
“Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti
Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti
Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan
istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris
yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke
tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau
nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden
Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali
ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi
kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak
itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi.
Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian
menjadi nama kota Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar