RASA UNTUK TANIA
Bagian 1
Perempuan yang sudah lama kusukai bernama Tania, ia adalah teman
kuliahku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia
adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di kampus, yang
lain adalah Galih (si anak orang kaya), Rian (si gendut), dan Santi
(teman akrab Tania yang kemana-mana selalu bersama). Sementara namaku
adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu
di antara kami berlima.
Pada malam ini, kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di
tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya
masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Gilang, menumpang di
mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos,
hanya saja Gilang menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa
menolak.
Tiba di kafe, Rian sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di
pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rian
tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar
kalau kami sudah ada di belakangnya.
"Hey!" Galih menepuk pundak Rian, membuat pria gemuk itu terhenyak
kaget.
"Baru sendirian?" tanyaku sambil duduk.
"Iya nih. Parah dah, cuma gue aja yang nggak ngaret," jawab Rian.
"Lah, Si Tania sama Santi belom dateng?" tanya Galih yang kemudian duduk
di sebelah Rian, lalu melongok ke arah monitor laptop.
"Mana gue tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka
paling deket dari sini," jawab Rian.
Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang
tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galih segera mengambil sepotong
roti dan melahapnya. Rian menatap Galih sambil menyindir, tapi Galih
hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami
mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan
game-game baru.
Saat kami masih asyik mengobrol, Tania dan Santi tiba di kafe. Tania
datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan logo The
Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti
pada bagian itu. Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang
banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun
tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik
kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran. Begitu pula dengan
bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti
sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya
jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja,
wajah dan senyumnya yang sangat manis.
"Guys, sori..., sori, tadi gue ada urusan sebentar," ujar Tania sambil
merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.
"Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget," tambah Santi. Santi
memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak
gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada
Tania.
"Yaudah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton," ujar Galih.
Santi duduk di sebelah Galih, sementara Tania duduk tepat di sebelahku.
Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap
Tania. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku
jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun
lebih. Tania meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut
lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah
membuat jantungku berdetak semakin kencang.
"Rapi banget lo. Mau nonton apa kondangan?" sindir Tania sambil menunjuk
kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai
kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.
Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan
kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers,
karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita.
Bagiku, kalau memang itu benar, maka Galih adalah ranger merah, Rian
adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Santi adalah ranger kuning,
Tania adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena
seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).
Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang
letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga
kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang
filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio
tanpa menunggu lagi.
Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30;
letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang
sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Tania. Aku duduk di kursi
paling pojok, di sebelah kananku Tania, dan Santi di sebelahnya lagi.
"Anjrit, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending gue beli popcorn
dulu!" ujar Tania kesal.
"Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?" ucap Santi sambil membuka
restleting tasnya.
"Oiya, lupa gue!" Tania akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari
tas Santi.
Tania langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu
memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.
"Di, mau?" ucap Tania padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah.
Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi
ranger pink.
"Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai," ucapku.
"Yaudah, ntar kalau mau, bilang ya," ucapnya.
Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang
kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya
tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh.
Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali
Tania dan Santi yang sesekali bergumam.
"Masih ada nggak kacangnya?" tanyaku pada Tania.
"Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe," ucap Tania sambil nyengir dan
menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat
amat makannya.
Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika
adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang
dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi
keselamatan nyawanya. Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Tania tanpa
menolehkan wajahku dari film. Tania tidak langsung mengambil bungkus
kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit
lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya. Namun tanpa
sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu
yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada film atau
apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda
empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang. Baru
beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku
baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh buah dada Tania yang mungil
itu, meskipun terhalang kaos.
Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di
antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Tania. Ia
sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang
menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara
terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan
sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.
"Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!" ujarku panik. Entah aku minta maaf
untuk kesalahan yang mana.
"Gapapa, santai aja kali, cuma dikit kok," jawab Tania dengan kalimat
yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak
dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.
Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa
berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja
kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku
menyentuh buah dada perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang
cowok yang agak kuper, jadi maklumi saja. Dan sekarang penisku jadi
sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi.
Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Tania marah padaku, bisa saja ia
mengira aku sengaja melakukannya.
Setelah selesai nonton, aku dan Tania tidak banyak bicara. Aku juga
tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa
malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Galih, aku duduk di sebelah
depan, sementara Tania, Santi, dan Rian di kursi belakang. Sesampainya
di rumah, aku segera mengirim SMS ke ponsel Tania. Aku memang tidak
berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan
persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.
"Tan, sori ya yg tadi. Sumpah, gue ga sengaja," ucapku dalam SMS.
Tak lama kemudian, ia membalas SMS-ku.
"Iya, gue tau kok. Cuma tadi gue speechless aja, kaget gue. Geli. "
Entah karena kalimat yang mana, penisku menjadi tegang lagi. Karena di
rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan onani sambil
memandangi foto Tania. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya.
Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh,
seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.
---
Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik
saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan
ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu
kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa
detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami
karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan
celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di
kamar.
"Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?" tanyanya sambil tersenyum.
Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
"Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku," ucapku
canggung.
"Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan," ucapnya sambil
mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya.
Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada
boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak
setomboy yang orang pikir.
Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam
lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu
keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium
lehernya, dan meremas buah dadanya. Tapi tentu saja aku tidak berani
melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih
lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.
"Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong.
Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!"
Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi
kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.
"Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?"
"Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni
kecelakan kok, Tan," jawabku membela diri.
"Baru pertama kalinya 'itu' gue dipegang cowo. Kanget banget gue waktu
itu," ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak
gimana gitu.
Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang
baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti
perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan
dewasa yang tidak naif lagi.
"Apalagi gue, Tan," ucapku menimpali.
Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya
aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit,
Tania membuka mulutnya dan berbicara.
"ehm, Di...."
"Ya?" tanyaku.
"Ngg... gimana ya bilangnya... bingung," Tania tersipu.
"Apaan sih?" ucapku, berlagak santai.
"Hmm... boleh nggak? Ngg..., tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?"
"Maksudnya?"
"Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please...," ucap Tania dengan
senyum malu-malu.
"Iya, gue janji kok. Ada apa?"
Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, "Lo...,
lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget,
pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel
terus, gimana gitu."
"Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?" nafasku serasa berhenti selama
beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang.
"Terserah elo mau nganggepnya gimana. Gue malu banget sebenernya, tapi
gue percaya sama lo," ucap Tania sambil terus menunduk.
Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar
mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan
kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu.
Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan
apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif
dalam urusan semacam ini.
"Yaudah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah
janji ya nggak akan bilang siapa-siapa," ucap Tania tiba-tiba, sambil
tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.
Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah
maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi
sekarang berada di dalam dekapanku. Aku dapat merasakan kehangatannya,
kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang
membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan
lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali
ia memainkan lidahnya.
"Mmmhh..."
Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya
terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di
seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.
"Bego dasar! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket
gue!" ucapnya sambil menahan tawa.
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang
sangat konyol.
Aku duduk di atas kasurnya, "Tania, sini duduk, gue pangku."
Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku
dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan
pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa
merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa.
"Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo
jangan ngelakuin hal yang lebih ya," ucap Tania.
"Iya, gue ngerti kok. Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,"
Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya
yang rata dari luar kaos.
"Perut lo six pack ya?" tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.
Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di
dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah
ketiak.
"Duuh Adi... Please dong. Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?"
Tania meledek.
"Haha. Iya, iya."
Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri
permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh
lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia
tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.
"Mmmh...," Tania melenguh pelan, seperti ditahan.
Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos. Kuremas-remas
pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos,
bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku. Selain itu,
bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau
menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian
pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya
yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.
"Haaaah... Di, pelan-pelan dong," ucap Tania dengan nafas yang penuh
desahan.
Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna,
mendesak ke arah pantat Tania.
"Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang
toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri..., dan sekarang,
tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue," ujar Tania di sela
desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.
"Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh," ucapku sambil terus meremas
buah dadanya.
"Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh...," Tania mendesah panjang ketika kuremas
bagian putingnya.
Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada
penisku.
"Uhhh... gila, enak rasanya," ujarku.
"Gue kasih bonus tuh dikit, hihi," ucap Tania.
"Mau gue isep pake mulut ga?" tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan
canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di
lautan nafsu.
"Mmmmh... Iyah... mau," ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan
membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling
berhadapan.
"Kaosnya buka dulu dong," ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang
sudah lecek di bagian dada.
"Nggak ah...! Nggak mau!" tolaknya sigap.
"Lah, katanya mau diisep?" tanyaku.
"Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?"
"Susah dong...."
"Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di,
kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho."
Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa
begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan
kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos.
Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.
"Yaudah, gue kasih bonus lagi," ucap Tania sambil menggoyangkan
pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya
secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah.
Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku
remas-remas.
"Mmmmhh... Di... this is... our dirty little secret," ucap Tania.
Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering. Merasa terganggu, aku
menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera
meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.
"Cuma SMS," kata Tania.
"Siapa?" tanyaku.
"Dari Santi. Dia bilang... dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas
menit lagi sampe," jawab Tania sambi mengerutkan dahi.
"Wah gawat, berarti kita harus udahan nih," ucapku. Aku mulai panik,
akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui
perbuatan kami.
"Sebentar, jangan dulu," ucap Tania.
"Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi
sampe tau atau curiga?" tanyaku.
"Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,"
Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka
restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, "gue kocokin deh, yah?"
Aku tak sanggup menolak.
Bag 2
Tania umurnya sedikit lebih muda dariku, tapi meski begitu ia adalah
orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku pertama kali
mengenalnya saat kami satu kelas dalam sebuah mata kuliah. Waktu itu aku
sudah akrab dengan Galih dan Rian, Tania juga sudah akrab dengan Santi.
Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power
Rangers terbentuk.
Aku ingat bagaimana aku adalah orang yang paling canggung di hadapan
perempuan, bahkan terhadap Tania. Karena ia memang supel dan ramah, ia
yang selalu mendekatiku lebih dulu, hingga aku akhirnya bisa mengenal
dia lebih akrab. Dia yang selalu aktif memulai candaan saat kami sedang
nongkrong, lalu biasanya akan ditimpali oleh Santi dan Galih dengan cara
yang konyol, bahkan cenderung gila. Rian cenderung waras, dan aku lebih
waras lagi.
Bukan rahasia lagi kalau banyak cowok di kampus yang naksir pada Tania,
baik senior ataupun junior. Namun Tania tampaknya tidak punya keinginan
untuk pacaran dan hanya senang berteman. Dia pernah curhat bahwa dulu ia
pernah disakiti seorang cowok, dan itu membuat dia jadi anti terhadap
status pacaran. Lagipula, semua orang setuju kalau Tani adalah tipe
cewek yang asik dijadikan teman, dan tidak cocok dijadikan kekasih.
Tapi aku berbeda. Aku punya perasaan yang lebih dari sekedar teman. Dan
lucunya, cewek yang kusukai secara diam-diam itu kini sedang duduk di
sampingku, tangannya pelan-pelan membuka restleting celanaku, sementara
bibirnya tersenyum antusias.
"Gapapa kan, kalo gue pegang barang lo?" tanya Tania.
Aku hanya mengangguk. Mana mungkin aku menolak.
Setelah restleting celanaku terbuka, terlihatlah celana dalam coklatku
yang sudah menonjol menahan desakan penis. Ujung jari telujuk Tania yang
lentik itu pelan-pelan mengelus penisku dari luar CD. Aku benar-benar
sulit percaya, jari-jemari yang lentik dan indah itu sekarang mulai
memijit-mijit kelaminku.
"Geli, Tan..." aku meringis.
"Waw, ternyata kaya begini ya. Gue baru pertama kali megang barang
cowo," ucap Tania.
"Gue juga baru pertama kali diginiin."
"Emang ga sakit ya, ketahan celana kaya gini?" tanya Tania.
"Yah, sedikit sakit sih."
"Keluarin aja ya?"
"Iya deh."
Pelan-pelan, Tania menarik ke bawah ujung celana dalamku, dan seketika
itu juga penisku yang sudah tegak langsung mencuat keluar. Melihat benda
keras dan panjang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, Tania tampak
kaget.
"Buset! Kaget gue. Hmmm... bentuknya gini ya," ucap Tania. Sekarang
jari-jemarinya meraba-raba batang penisku.
"Uhhh... emangnya lo baru pertama liat?" tanyaku sambil menahan desahan.
"Gue pernah liat lah, di film bokep. Tapi agak beda..." jawab Tania
sambil mengelus-elus kepala penisku yang terlihat seperti topi tentara.
"Beda? Masa sih?"
"Iya, kalo di film sih, agak... lebih gede gitu," Tania tertawa pelan.
Sialan, aku diledek. Inilah akibatnya kalau cewek suka nonton bokep
bule. Membandingkan seenaknya.
"Huh."
"Becanda ih... haha..." Tania menjulurkan lidah. Oh seandainya saja
lidah itu mau bergesekan dengan kulit penisku. Tapi aku tak berani
meminta, "menurut gue punya lo pas banget di tangan," ucap Tania.
Sekarang Tania menggenggam batang penisku dengan telapak tangannya.
Rasanya ada sensasi dingin dan hangat sekaligus. Lalu ia mulai
menggerakkannya naik turun. Oh, nikmatnya, dia mulai mengocok. Tapi
tiba-tiba ia melepaskan lagi genggamannya. Lho, kenapa?
"Sebentar ya," ucap Tania sambil beranjak berdiri.
Aku hanya mengangguk bingung. Ternyata ia berjalan ke arah lemari dan
mengambil sebotol body lotion.
"Kasian kalau anak orang sampe gue bikin lecet. hehe," ucapnya.
Ia meneluarkan lotion pemutuh kulit itu, lalu mengoleskannya di batang
penisku. Lalu ia mulai mengocoknya lagi, perlahan, namun semakin cepat.
Ohh, sekarang rasanya lebih lancar dan lebih nikmat.
"Awhhh..." aku tak kuasa menahan nafas yang semakin memburu.
"Enak ya, Di?" tanya Tania sambil menatap ekspresi wajahku.
"Enak," jawabku.
"Enak banget?" tanyanya lagi.
"Iya, enak banget."
"Enak sih enak, tapi tangan lo jangan diem aja dong...," ia protes.
"Oh iya, hehe, sori."
Aku langsung menggunakan kedua tanganku untuk meremas-remas buah dadanya
dari luar kaos. Remasanku kini lebih liar karena aku terasa semakin
menikmati kegiatan ini. Lalu kami berciuman, ciuman yang penuh nafsu
antar dua orang sahabat. Lidah kami bertautan dan saling jilat.
Samar-samar terdengar suara gesekan tangan Tania dengan penisku yang
sudah diolesi lotion.
Tanpa meminta izin, tanganku menyusup ke balik kaosnya. Dia kan cuma
bilang tidak boleh buka baju, kalau menyelipkan tangan kan dia tidak
melarang. Langsung saja kuremas buah dada kanannya. Uhh, sensasinya
berbeda. Sekarang kulit tanganku bergesekan langsung dengan kulit
payudaranya, rasa kenyal dan lembutnya benar-benar terasa.
"Mmmmhh... ahh.. nakal ya...," gumam Tania. Tapi ia tidak membuat
perlawanan.
Tanganku sekarang memilin-milin puting susunya, membuat puting yang
sudah keras itu menjadi semakin keras. Sesekali kupencet lembut, dan itu
membuat Tania menarik nafas dalam.
"Di... mmmhhh.... terus Di, enak," merasakan kenikmatan yang lebih,
Tania semakin mempercepat kocokannya. Aku jadi semakin ingin ejakulasi,
tapi kutahan dulu.
Leher Tania yang jenjang dan mulus itu kucium dan kujilat-jilat. Wangi
badan dan rambutnya membuatku merasa semakin nyaman. Selain itu lehernya
benar-benar bersih, tak ada cacat sedikitpun.
"Adi... mmmhh... ini cuma sekali ini aja ya. Kita akan tetep jadi temen
dan sahabat. Mmmhh... jangan sampe ada yang tau, ya?" ucap Tania di
sela-sela desahannya.
Aku tidak menjawab, dan malah menggigit pelan leher Tania. Lalu aku
menarik ke atas kaos yang dikenakan Tania. Aku tarik terus hingga ke
dekat leher, sekarang kedua payudaranya terlihat jelas di hadapanku.
Bentuknya sungguh indah, bulat dan putih bersih, putingnya berwarna
coklat agak pink.
"Gue jadi malu...," ucap Tania sambil tersipu.
"Toket lo bikin gemes," ucapku.
Perlahan-lahan kujilat ujung puting Tania, kubelai-belai dengan lidahku.
"Aaaahhh! Geli!" Tania berteriak.
Setelah itu kubuka mulutku dan kulahap buah dada itu. Aku hisap, buah
dada yang sebelah kanan, bergantian dengan yang sebelah kiri. Sesekali
kujilat permukaan gunungnya.
"Oooh... terus Di, kenyot terus, sedot Di... Mmmmhhh..."
Benar-benar luar biasa. Kemarin malam aku merasa senang hanya dengan
menyenggol benda ini, tapi sekarang, aku bisa menjilat dan
menghisap-hisapnya.
"Putingya, Di... Akhhh..., iyah, kaya gitu... ahhh...."
Setelah menjilat dan menghisap kedua bukit kembar itu terus menerus, aku
berinisiatif untuk menggigit putingnya, pelan-pelan.
"Aw!" jerit Tania.
Kocokan Tania di penisku semakin cepat dan rapat. Mendengar suara
desahannya yang seksi serta merasakan payudaranya yang kenyal membuat
aku benar-benar tidak tahan lagi sekarang. Aku ingin lebih. Aku ingin
percumbuan ini berlangsung hingga klimaks. Aku ingin....
Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Tania dari luar. Lalu
sebuah suara terdengar.
"Tan..., Tania...," itu suara Santi!
Kami terhenyak. Rupanya karena keasyikan, kami sampai lupa batas waktu
lima belas menit tadi. Bagaimana ini? Tania tampak kaget dan wajahnya
pucat. Kalau sampai skandal ini ketahuan, habislah riwayat kami.
Bisa-bisa persahabatan geng Power Rangers bisa berantakan.
Mungkin karena panik atau bingung, Tania bukannya buru-buru mengakhiri
permainan ini, ia malah terus mengocok penisku. Aku sudah tak sanggup
mengendalikan diri lagi.
"Tan, gue... mau ke... keluar...."
"Hah?!" Tania kaget, mulutnya menganga.
Seketika itu juga penisku berdenyut-denyut dan muncratlah cairan sperma
berkali-kali. Tania secara refleks menjauhkan penisku dari tubuhnya, dan
itu malah membuat spermaku muncrat kemana-mana. Sebagian ada yang
tumpah di kaos Tania, di tangannya, dan sebagian lagi ada yang muncrat
ke lantai dan dinding. Gila, rasanya sungguh nikmat.
"Tania.... ini gue Santi. Lagi ngapain sih lo? Tidur ya?" suara Santi
terdengar menggumam dari balik pintu.
"Aduh, gimana ini?" Tani berbisik sambil memperhatikan tangan kirinya
yang belepotan spermaku.
"Bersihin dulu!" bisikku padanya.
"Iya, sebentar San! Gue lagi ganti baju nih, abis mandi!" ucap Tania,
setengah berteriak.
Dengan gerakan cepat, Tania mengambil tissue dan mengelap spermaku yang
menempel di tangan dan kaosnya. Lalu ia mengambil kain lap dan
membersihkan spermaku yang menempel di lantai dan dinding.
"Cepetan dong, Tan... Ganti baju aja lama banget sih lo?" ucap Santi
dengan tidak sabar.
Tania mengambil air minum dari galon, lalu membasahi rambutnya sendiri.
Mungkin agar terlihat seperti habis mandi.
Lalu ia melotot padaku dan berbisik, "Di, ngumpet di kolong tempat
tidur! Cepet!"
Aku terkejut. Tampaknya tak ada tempat bersembunyi lain, jadi aku
langsung menuruti perintahnya.
Kira-kira tiga menit kemudian, persiapan sudah selesai. Aku sudah
bersembunyi di kolong tempat tidur dan hanya bisa mendenga suara mereka.
Untunglah seprei tempat tidur ini panjang sampai ke lantai, jadi
sepertinya Santi tidak menyadari keberadaanku.
"Duh, lama amat sih lo, baru dibukai sekarang," terdengar suara Santi.
"Sori, sori, tadi gue lagi pake handuk," jawab Tania.
Setelah itu aku dengar mereka mengobrol dengan suara yang kurang jelas.
Mungkin Santi sedang menggumam. Lalu tak lama kemudian, aku merasakan
ada yang duduk di atas tempat tidur.
"Ihh... ini apaan Tan ?" suara Santi terdengar dari atasku.
"Hah? Apaan?" suara Tania.
"Ini, gue kan meluk boneka kucing lo, tapi kok ada lendir lengket gini
ya? Idiih... apaan nih...?" ujar Santi.
DEG! Jantungku serasa berhenti berdetak. Gawat. Sepertinya ada yang
kelewatan waktu proses bersih-bersih tadi!
Selama beberapa detik, suasana menjadi hening. Entah apa yang terjadi di
luar sana.
Namun tiba-tiba Tania bersin, "hachiiii!!!"
"Woooaaahh...! Hiiiiiiiyyyy! Jadi ini ingus lu? Jorok banget sih lu,
cewek macem apa sih lu, ga nyangka gue punya temen jorok kaya lo.
Idiiih," ucap Santi beruntun.
"Ya... abisnya... gue lagi pilek banget nih, sori..." ucap Tania dengan
suara yang dibuat lesu.
"Pilek sih pilek, tapi ingusnya jangan dilap ke boneka dong," ucap Santi
menggerutu.
Perasaanku menjadi lega. Untunglah, sepertinya Santi percaya. Selama
setengah jam kemudian, mereka berdua mengobrol panjang lebar, khas anak
cewek. Dan setelah itu, aku dengar bahwa Santi tidak bisa berlama-lama,
karena ia ada urusan lain dan juga agar Tania yang sedang "pilek" bisa
beristirahat.
"Yaudah, Tan. Lo istirahat dulu ya. Besok pagi gue mampir ke sini lagi
deh. Cepet sembuh ya!" ucap Santi.
"Iya, thanks ya."
Suara pintu ditutup. Sepertinya Santi sudah keluar. Tak lama kemudian,
seprei kasur disibak oleh seseorang, dan Tania melongok ke kolong kasur,
ke arahku yang sedang merayap seperti cicak.
"Huff... Hampir aja kita mampus...." ujar Tania.
Aku membuang nafas lega. Untungnya aku membuat skandal dengan perempuan
yang kreatif.
Bag 3
Setelah Santi pergi, sebenarnya aku sempat berharap agar permainan kami
dilanjutkan. Tapi Tania ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan
tadi sudah membuat mood-nya turun, atau malah membuat dia kapok. Aku
tidak bisa memaksa, sebab semua ini memang dia yang memulai. Tapi aku
tidak terlalu kecewa,setidaknya aku sempat mengalami ejakulasi tadi,
jadi nafsuku lumayan bisa dikendalikan.
"Di, lo inget ya..., besok kita ketemu di kampus, lo anggep semua ini
ngga pernah terjadi," ucap Tania saat aku pamit. Aku mengangguk saja
sambil tersenyum, padahal mana mungkin aku bisa melupakan kejadian tadi.
Mustahil.
----------------------------------------
Esok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata
kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi aku
tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar hingga
membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.
Saat keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja aku
menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tapi sebuah majalah yang ada di
tangannya yang jatuh. Aku memperhatikan orang yang kutabrak itu. Seorang
mahasiswi, lebih tepatnya adik kelas. Aku tidak kenal dekat dengannya,
tapi kami saling tahu nama. Namanya adalah Ghea, satu tingkat di
bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan
pandai bergaul. Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Tania, tapi
wajahnya tak kalah manis, aku menebak dia ada keturunan cina karena
kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit. Ia memakai kemeja
kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna
maroon, namun sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku.
Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung
di acara-acara kampus.
"Eh sori, ngga sengaja," ucapku.
"Ngga papa Kak, saya yang ngga liat," jawabnya sambil memungut majalah
yang jatuh.
Selama beberapa detik kami bertatapan. Aku merasa ada yang aneh dengan
tatapannya, hingga kemudian aku sadar kalau geng Power Rangers sudah
menungguku di seberang sana. Ada Tania juga yang sedang menatapku. Apa
ya yang dia pikirkan?
"Woy, sini!" ucap Rian sambil melambaikan tangan.
Sambil mengangguk pelan aku meninggalkan Ghea dan bergegas ke tempat
mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Galih. Santi sedang asik
mengunyah biskuit dan Tania tampak serius mengetik di handphonenya. Aku
melirik sekilas, dan Tania ikut menoleh, tapi ia cepat-cepat kembali
menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan
dengan itu penisku mengeras sedikit. Tapi kenapa dia tidak tersenyum?
Apakah dia juga sama canggungnya denganku?
"Gimana, sore ini ada acara nggak?" Rian bertanya sambil menepuk
pundakku.
"Ada apa Yan?"
"Kok ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata
kuliah kita banyak yang sama. Gimana?" jawab Rian.
"Kok tumben?" balasku.
"Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya
catetan dan males baca buku," ujar Santi.
"Ayolah... Si Galih udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi
gratis. Oke kan?" ucap Rian. Aku dan Santi mengangguk setelah mendengar
kata konsumsi gratis.
"Lo gimana Tan, bisa?" tanya Santi.
Tania agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, "Oh bisa kok bisa,
ngga masalah."
Singkat cerita, setengah jam kemudian kami pun berangkat ke rumah Galih
menggunakan mobilnya. Rian duduk di depan bersama Galih, sementara aku,
Tania, dan Santi duduk di belakang. Santi di kiri, Tania di tengah, dan
aku di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Tania membuatku sangat
canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena
merasa tidak enak, Tania akhirnya membuka pembicaraan.
"Eh lo udah ngerjain tugasnya Pak Johan belum?" ucap Tania menyebutkan
nama seorang dosen.
"Oh, belum tuh," jawabku.
"Yah, tadinya gue mau nyontek. haha," ia tertawa.
"Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran?
Mendadak rajin ya?" gerutu Santi, dibalas cubitan dari Tania, lalu
mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.
Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di rumah Galih. Rumahnya besar
dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.Saat kami
masuk ke ruang tamu, Sherly, adiknya Galih sedang duduk di sofa sambil
membaca majalah. Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya
bergelombang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan
pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.
"Baca majalah jangan di ruang tamu," ucap Galih ketus.
"Emang napa? Suka-suka gue dong!" balas Sherly.
"Nanti ngga ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!"
Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Galih. Kakak-adik ini
memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya
akur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar
Galih. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar
cowok lumayan rapi. Kami pun memulai acara belajar kelompok.
Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan,
tiba-tiba saja Rian berteriak.
"Apaan tuh!" teriak Rian sambil menunjuk-nunjuk.
"Kenapa sih lo, kaya Jaja Miharja aja," umpat Santi.
Rian segera merangkak ke kolong tempat tidur Galih dan mengambil sesuatu
dari dalam sana.
"Bokep coy!" ucap Rian sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar
perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
"Kaya anak SMP aja lo, masih ngumpetin kaya gituan," Tania tertawa.
"Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?" aku ikut menimpali.
"Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya lo semua?
Bisanya cuma download bajakan kan?" ucap Galih sambil berusaha merebut
DVD itu.
"Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,"
balas Rian.
Rian segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah
dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita
Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Payudara
wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor
lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu.
"Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh," ucap Rian agak berbisik.
"Iya, nggak kaya cewe-cewe di kelompok kita, rata semua kaya triplek!"
ujar Galih. Kami melirik pada Tania dan Santi.
"Sialan lo!" ucap Tania sambil memukul pundak Galih menggunakan kertas.
"Tapi punya gue masih lebih gede daripada punya Tania, tau...," ucap
Santi pelan.
Galih dan Rian tertawa terbahak-bahak, sementara Tania melotot dan mulai
mencubiti Santi.
Aku refleks bergumam, "Hehehe, tapi yg kecil-kecil tu bikin gemes."
Tania melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara anak-anak yang
lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.
Acara 'belajar kelompok' masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di
monitor semakin hot, dan harus kuakui kalau penisku sudah menegang di
balik celana. Tania kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi
duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Saat ia merapat, dadanya
berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia
mulai menggesek-gesekkannya. Penisku semakin keras.
Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan
pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya payudara Tania bisa kurasakan
samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung
anak-anak yang lain tidak ada yang sadar.
Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rian yang kaget
segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Galih membawakan minuman.
Aku menghela nafas, Tania juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku
dapat melihat wajahnya yang merona merah.
Setelah itu, acara belaajr kelompok dilanjutkan secara normal. Kira-kira
satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil
Galih sedang dipakai, jadi kami harus pulang menggunakan kendaraan umum.
Hampir lima belas menit di dalam bus, Rian dan Santi turun lebih dulu,
sebab rumah mereka memang lebih dekat. Tinggal aku dan Tania yang
tersisa di bus, aku pindah duduk ke sebelahnya. Bus yang kami naiki
kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang
kantor. Duduk bersebelahan dengan Tania tanpa ada orang lain di sekitar,
membuatku merasa agak aneh.
"Kenapa Di, diem aja?" ucap Tania. Ia duduk di samping jendela, tirainya
ditutup karena silau.
"Ngga kok, ngerasa aneh aja," aku tertawa.
"Biasa aja lagi."
Selama beberapa menit, kami terdiam. Mungkin Tania juga merasa tidak
enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar
kencang ketika membayangkan kejadian kemarin. Rasanya ada yang masih
mengganjal. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Tania, aku
ingin merangkulnya, aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan
tubuhnya lagi. Tania hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak
terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup
atau merasa tertantang karena kami sedang berada di dalam bus.
Perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya. Aku dapat merasakan
pinggangnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Setelah
memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.
Plak!
Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aku kaget
bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.
Sambil menatapku, Tania berbisik kesal, "Kan gue udah bilang kemarin,
cuma sekali itu aja! Kalo kita ketemu lagi, gue minta lo anggap yg
kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?"
Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu
bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku. Kalau memang aku
mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya. Aku kecewa pada
diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu
mesum semata. Sepanjang perjalanan hingga Tania turun terlebih dulu, aku
hanya menundukkan kepala. Kami tidak berbicara sepatah kata pun.
Aku tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aku tidur-tiduran di atas
kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah
persahabatanku dengan Tania akan berakhir karena masalah ini? Tidak
mungkin. Aku mengambil HP dan mengirim SMS ke Tania.
'Tan, maaf ya, tadi gw khilaf'
Aku diam menunggu balasan, tapi tak juga ada SMS yang masuk. Selama
beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja
handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget. Telepon, dari Tania.
"Di, lo lagi di kostan?" tanya Tania.
"Iya." jawabku.
"Gue ke sana ya sekarang!"
"Eh, tapi, tapi...."
Tania menutup teleponnya. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin
meminta maaf soal kejadian tadi, tapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa
ia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu siapa dia.
Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada
Tania yang berdiri sambil tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris
dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah
tidak marah lagi. Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.
"Di, sori ya soal yang tadi. Gue sebenernya gugup, jadi kebawa emosi.
Gue ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, ngga ada maksud kasar kok,"
ujar Tania sambil duduk di atas tempat tidurku.
"Ngga, Tan, harusnya gue yang minta maaf. Gue yang salah, ngga inget
janji gue sendiri" ucapku.
"Sebenernya gue juga melanggar janji kok waktu di rumah Galih tadi."
Tania tersenyum.
"Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?"
tanyaku. Tania mengangguk, lalu kami berdua tertawa.
"Liat sini deh," ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Tania dan menatap matanya. Matanya yang indah
membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan
mengelus-elusnya.
"Masih sakit bekas tamparan gue tadi?"
"Masih. Tenaga lo kaya babon sih."
"Sialan lo! Mau gue tabok lagi?" ujar Tania sambil tertawa.
Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aku menahan nafas karena
kaget.
"Udah? Udah ngga sakit kan?"
Aku tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan
damai. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, aku benar-benar jatuh cinta.
Lalu kami bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya
bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aku
tak bisa tinggal diam, aku membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh
nafsu.
"Mmmh... Di... Mmm..," desahan Tania terdengar di antara ciuman.
Sambil terus melumat bibirnya, aku mendorong dia ke tempat tidur. Ia
jatuh terlentang. Aku cium lehernya pelan-pelan, lalu aku jilati
lehernya hingga ke dagu. Ia mendesah agak keras.
"Geli..."
Setelah puas menyantap lehernya, aku kembali menatap wajahnya, dan kami
tersenyum.
"Kemarin gue pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tapi
ternyata... kemarin kan cuma lo aja yg dapet kenikmatan... lo masih
utang satu sama gua, Di...." ucap Tania.
"Mau kaya kemarin lagi?" aku memijat-mijat payudaranya dari luar kaos
dengan perlahan. Ternyata ia tidak memakai bra.
"Ahhh.... Buka aja kaos gue, ngga apa-apa lah," ucap Tania.
Aku menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya.
Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan
rata, kulitnya mulus, dan dua buah payudara yang berukuran kecil namun
bulat sempurna dan proporsional.
"Mmm.. toket gue ngga segede yang di film tadi ya?" ia memanyunkan
wajahnya.
"Kan gue udah bilang, yg kecil tu bikin gemes."
Tania tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aku mencium
keningnya.
"Terus, lo pengen diapain nih?" ucapku menggoda.
"Terserah lo mau ngapain aja sekarang, tapi kalo gue bilang stop, lo
mesti berenti ya?" ucap Tania sambil mengusap rambutku.
"Tenang aja," ucapku. Sepertinya Tania sudah tidak segugup kemarin.
Mungkin karena ini sudah bukan yg pertama.
Aku mulai membelai payudaranya dengan kedua tangan. Dengan perlahan aku
mengelus daerah seputar putingnya, lalu kujilat dengan ujung lidah. Ia
mengerang. Lalu aku mulai menyedotnya, aku hisap puting kanannya yang
sudah menegang.
"Gila.. nikmat banget..., yang kiri juga Di... isep juga.... ahhh"
"Sabar dong, gue ngga kaya lo, mulut gue cuma satu."
"Sial, dasar," ia tertawa.
Aku meremas-remas payudara kanannya, lalu yang sebelah kiri
kujilat-jilat dan kuhisap. Ia kembali mendesah. Aku gigit pelan
putingnya, ia menjerit kecil. Lalu kujilati lagi sampai basah.
"Uhh... untung sekarang di tempat lo, jadi ngga akan digangguin Santi
lagi," ucapnya sambil mendesah, "handphone juga gue matiin."
"Bener juga ya, untung kamar sebelah lagi pada pulang kampung," aku
memijat-mijat kedua payudaranya.
Ciumanku turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus, wangi parfum
perempuan yang manis. Aku memainkan lidahku di daerah pusarnya, ia
menggelinjang.
Tanpa minta izin, aku membuka kancing celana jeansnya dan menariknya ke
bawah. Tania tidak menolak, ia malah membantu mengangkat pinggulnya.
Setelah celana itu berhasil dilepas, aku dapat melihat celana dalam
warna hijau muda yang ia kenakan yang tampak agak basah. Pahanya sangat
mulus, membuatku langsung mengelus dan menciuminya.
"Hahhh... Di... Mmhh,"
"Kenapa?"
"Mem3k gue blum pernah disentuh cowo..."
"Gue juga blum pernah nyentuh punya cewe... Mau stop aja?"
"Mmmh... Dikit aja deh..," ucapnya dengan wajah yang sayu.
Dengan gerakan yang lembut, aku menggesek-gesek ujung jariku ke celana
dalamnya, tepat di bagian vagina.
"Gimana rasanya?" tanyaku.
"Aaahh.. enakk... terus Di,"
Aku menjilati pahanya yang mulus, dan kemudian naik ke arah
selangkangannya. Dapat kurasakan kakinya menegang karena keenakan, lalu
tanpa memberitahunya terlebih dahulu aku melepaskan celanaku.
"Ngapain lo buka celana?" ia memperhatikan penisku yang sudah berdiri
tegak dihadapannya.
"Ngga ngapa-ngapain, soalnya sesak udah tegang banget."
"Sabar, ntar gue kocokin lagi kaya kemarin. Tapi lo bantuin gue dulu
ya...," pintanya.
Dalam hati, sebenarnya aku sangat ingin memuaskan hasrat Tania. Aku
ingin melihat ia tersenyum lega, aku ingin ia mendapat kepuasan dariku.
Mungkin hanya dengan itu, suatu saat ia akan menyadari perasaanku yang
sebenarnya.
Aku menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tapi
tanpa buang-buang waktu, aku segera menciumi kemaluannya. Aku jilati
bibir vaginanya yang sudah lembab itu. Aku cium, aku hisap, aku jilat
klitorisnya.
Tania menjerit.
"Adiii... ahhh gila lo... lo apain mem3k gue... aaaggghhh..."
Sambil mengelus-elus pahanya, aku terus menjilati bibir vaginanya sampai
beberapa menit, dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja
tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalaku hingga aku
sulit bernafas.
"Aaaaahhhh! Gue sampeee... uuh..."
Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang
tersengal-sengal. Ia tersenyum padaku, dadaku terasa hangat. Bersamaan
dengan itu nafsuku semakin meledak-ledak.
Kudekatkan penisku ke vaginanya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali
mendesah. Lalu kucium bibirnya sambil kuremas kedua payudaranya.
"Tan... gue pengen coba masukin... boleh ya?" ucapku dengan nafas
memburu.
"Jangan Di, gue masih virgin, gue ngga mau."
"Pliis Tan, gue ngga tahan...," aku masih menggesek-gesekkan penisku di
bibir vaginanya.
"Jangan Di, jangan. Lo sahabat gue, makanya gue percaya sama lo, lo kan
udah janji. Stop ya, plis..."
Aku menatap matanya dengan wajah memelas, "Tan... sebenarnya gue...."
"Gini aja, lo boleh minta apa aja sama gue. Tapi jangan yang satu itu
ya? Itu mau gue jaga untuk seseorang yang spesial buat gue, buat cowo yg
benar-benar gue sayang. Maaf banget, lo ngerti kan?"
Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Apa maksudnya dengan perkataan
tadi? Apa baginya aku bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia
sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang aku
pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, dan
aku belum pernah mengungkapkan apa-apa.
Tiba-tiba saja aku patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah
tangan? Tapi aku tetap menghargainya, aku tak ingin menyakitinya.
"Kalo... kalo pake mulut mau ngga Tan?" ucapku.
Ia terdiam sejenak, namun dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.
"Iya..., tapi keluarin di luar ya..."
Aku mengangguk.
Tania bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih penisku yang masih
tegang. Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok
batang kemaluanku. Aku mendesah pelan.
"Gue coba praktekin yang di film tadi ya, hehe," iya tersenyum.
Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung penisku, lalu ia mengecupnya
pelan. Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku. Lalu dengan
agak canggung ia mulai memasukkan penisku ke mulutnya. Ia menyedot
pelan, bibirnya terlihat monyong.
"Mmmm.. Slrppp... Sruupp"
Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang
duduk di hadapanku dan menghisap penisku dengan mulutnya.
Tapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.
Dengan nafsu dan kekecewaan yang membara, aku memegang kepala Tania,
kutahan agar kepalanya tak bergerak. Lalu aku memompa pinggulku hingga
penisku keluar masuk di mulutnya. Ah, maafkan aku Tania, tapi aku
benar-benar tidak tahan.
"Mmmm Mmppppp!!!" Tania berusaha berontak dan mendorong pinggangku. tapi
tenagaku lebih kuat.
Kupercepat genjotanku, untungnya penisku tak terlalu panjang, jadi
mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual.
Dari bawah, tania mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya ia kesal.
Tapi aku tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya. Rasa
nikmat menjalar dari penisku sampai ke tulang belakang, dan pada satu
titik aku merasa akan meledak.
Kutekan kepalanya ke arah penisku, dan saat itu juga aku mengalami
ejakulasi.
"Aaaaah....!" Crot! Crot! Crot! Spermaku muncrat ke dalam mulut dan
tenggorokan Tania.
Aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Tania yang sedang
terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermaku.
"Sori.. sori banget Tan. Gue ngga tahan," ucapku.
"Sialan! Masih untung ngga gue gigit kont0l lo itu, kalo gue gigit sampe
putus baru tau rasa lo...." ujar Tania, sambil mencoba mengeluarkan
sisa sperma dari mulutnya.
Aku mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma
di mulut Tania. Aku berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.
"Gue kelepasan tadi..."
"Kan udah gue bilang, keluarinnya di luar...," ia mencubit perutku,
"...tapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi..."
"Mana gue tau," aku tertawa.
Tubuh kami terasa lemas. Setelah emosinya reda, kami kembali dapat
bercanda dengan normal. Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana,
hingga pagi menjelang. Aku mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.
Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah
pertanyaan.
"Adi, kita masih temenan kan?"
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa.
"TTM," ucapku singkat.
"Teman Tapi Mesum?" balasnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.
Bagian 4
Aku dan Tania akhirnya resmi menjadi TTM (Teman Tapi Mesum). Di kampus
dan di depan teman-teman yang lain, kami bersikap normal seperti biasa.
Ia masih akrab dengan Santi, meskipun kadang Santi suka menjadikan
'ingus' di boneka Tania sebagai lelucon di waktu bercanda. Sejak saat
itu ia jadi sering meledek Tania sebagai "anak ingusan" atau "cewek
ingusan". Untungnya ia tidak sadar bahwa lendir yang ia sentuh tanpa
sengaja saat itu bukanlah ingus Tania, melainkan spermaku yang tidak
sempat Tania bersihkan.
Namun ketika kami mendapatkan waktu untuk berduaan, hal-hal di luar
aktivitas pertemanan sering terjadi. Ketika Tania sedang 'pingin', ia
sering menelpon atau mengirim SMS dan mengajakku ketemuan, kadang di
tempat kostnya, namun lebih sering di tempat kostku. Lalu kami akan
bercumbu untuk memuaskan hasrat masing-masing, walaupun hingga saat ini
Tania masih menolak untuk melepaskan virginitasnya. Tapi di sisi lain,
sewaktu aku yang sedang horni, kadang aku masih agak gengsi untuk
meminta duluan. Untungnya Tania memahami hal itu.
"Di..., kalau misalnya lo lagi horni, lagi pengen banget and ga bisa
ditahan, lo call gue aja ya. Kalau lagi ga sibuk pasti gue bantuin kok.
Oke? Jangan malu-malu," ucapnya, tiap kali aku selesai membuat dia
orgasme dengan jilatan di daerah vagina.
Dengan dukungan seperti itu, aku pun memberanikan diri untuk meminta
duluan. Pernah saat aku sedang di sela-sela kuliah, tiba-tiba saja
penisku terasa tegang dan nafsuku jadi menggebu-gebu. Aku tidak tahu
kenapa, mungkin karena saat itu sedang hujan gerimis dan udara lumayan
dingin. Aku jadi ingat pada Tania, lalu aku menelponnya, tapi tidak
diangkat. Aku jadi heran, lalu aku kirimi dia SMS.
'Tan,lo lg dmn?'
Aku sengaja mengonfirmasi dulu, tidak langsung to the point, sebab kalau
hapenya sedang dipegang orang lain dan hubungan rahasia kami
terbongkar, bisa berabe nanti.
Beberapa detik kemudian, Tania membalas:
'Gw lg ada kuliah. Tunggu sbntar ya.'
Aku baru ingat kalau semester ini jadwal kuliah kami banyak yang tidak
sama. Tania lebih pintar dariku, ia sudah mengambil mata kuliah untuk
semester depan, sementara aku masih harus mengulang beberapa kuliah
semester lalu.
Lima belas menit lamanya aku menunggu, akhirnya Tania balas menelponku.
"Halo, Di. Gue baru keluar kelas nih. Ada apa?" tanyanya santai.
"Nggg.... itu Tan.... habis ini lo ada jadwal lagi nggak? Gue...."
"Nggak ada kok, udah selesai semua. Lo lagi dimana? Ada apa sih?"
Seandainya saja saat itu aku dapat mengatakan bahwa aku mencintainya
lebih dari sekedar teman mesum, bahwa aku memikirkannya lebih dari
sekedar nafsu seks. Tapi aku tak bisa mengatakan itu. Aku sadar hubungan
di antara kami ada di posisi apa. "Friend with benefit", begitu kata
film-film Hollywood.
"Gue lagi di teras gedung E. Gue... g-gue butuh bantuan lo nih
sekarang...," ucapku pelan.
Di luar dugaan, Tania malah tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha... ngomong
lo kaya yang mau nembak gue aja....! Pake gagap segala."
Teggorokanku terasa mampat seketika. Lalu Tania melanjutkan ucapannya.
"Ngerti, ngerti, gue ngerti kok. Tenang, gue lagi luang sekarang. Gue
samperin ke sana ya?"
"Oke...."
Aku menunggu di sebuah kursi panjang yang kebetulan sedang kosong.
Mahasiswa yang lain mungkin sudah pulang atau ada di dalam kelas. Geng
Power Rangers selain kami berdua juga kalau tidak salah sedang ada
kesibukan sendiri-sendiri.
Tania muncul di seberang sana. Ia berlari kecil sambil menutupi
kepalanya dengan tas, untuk menghindari gerimis. Saat ia akhirnya tiba
di hadapanku, baju kemeja kotak-kotak yang ia kenakan tampak basah
sedikit. Di sela-sela kerah kemeja yang tidak dikancingi itu, aku dapat
melihat kaos putih yang ketat membungkus tubuhnya. Di bawahnya, ia
mengenakan celana jeans ketat yang membuat kaki jenjangnya tercetak
jelas.
"Sori Tan, gue jadi ngerepotin...," ujarku melihat ia sedang
membersihkan bekas air di pundaknya.
"Santai aja. Yuk."
Pertamanya, kami tidak tahu harus melakukannya dimana. Pada jam segini
biasanya para mahasiswa masih belum pulang semua, jadi agak sulit
menemukan ruang kelas yang kosong. Setelah beberapa menit mengitari
gedung E, akhirnya kami menemukan ruang kelas yang sepertinya bisa
digunakan.
"Di sini aja nih, kayanya aman," ujar Tania.
Aku melihat jadwal pemakaian kelas yang ditempel di kaca jendela,
ternyata memang kelas ini tak akan dipakai lagi sore ini.
Kami pun masuk ke dalam ruang kelas itu, Tania segera menutup pintu dan
mengunci selotnya, untuk jaga-jaga. Selama beberapa detik kami
bertatapan, lalu aku memeluknya. Aku merapatkan tubuhku dengan tubuhnya,
merasakan kehangatannya, merasakan buah dada yang menononjol kecil dari
balik kaosnya. Lalu tanganku meraba bokongnya yang padat dan kencang,
terbalut jeans ketat yang membuatnya semakin seksi.
"Gue seneng Di, lo minta duluan," ucapnya di telingaku.
"Kenapa?"
"Jadinya gue nggak ngerasa manfaatin lo doang. Selama ini gue kok
ngerasa jadi cewek mesum banget ya, selalu yang mulai duluan. hahaha."
ucapnya, lalu ia mencium leherku.
"Dasar lo Tan, lo kan emang mesum."
Aku langsung menyerbu bibirnya, aku melumatnya dan menghisapnya, lalu
kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Lidah kami bertautan,
saling menjilat, saling menghisap.
"Mmmmmhhh...." desah Tania di sela ciuman kami.
Tanpa melepaskan mulutku dari mulutnya, aku mendorong tubuh Tania hingga
ia tiduran di atas meja. Aku terus menghisap bibirnya, sementara
tanganku menyelinap ke dalam kaosnya, lalu meremas-remas buah dadanya
yang masih ditutupi bh.
Dengan lihai aku membuka kemejanya, lalu menarik kaosnya hingga ke atas
dada. Aku dapat melihat tubuh Tania yang putih mulus, pinggangnya yang
langsing, perutnya yang rata dan bersih, juga buah dadanya yang bulat
mungil mengintip dari balik bh warna hitam. Jika kuibaratkan tubuhnya
dengan makanan, maka ini adalah makanan sangat lezat yang siap kusantap.
"Nafsu banget lo Di..." bisik Tania.
Aku langsung menciumi perutnya, mmm.... bau parfum yang ia kenakan
semakin menambah gairahku. Lalu kujilati pusarnya hingga ia
menggelinjang keenakan.
"Aaahh... Adi.... Geli...."
"Jangan keras-keras suaranya, nanti ada yang denger...."
Lalu aku menyingkap cup bh-nya, menampakkan buah dadanya yang sangat
ranum dan bulat bagaikan apel, meskipun ukurannya tidak terlalu besar.
Kedua putingnya tampak sudah menegang berkat rangsanganku barusan.
Aku langsung melahap buah dadanya itu. Yang sebelah kanan kujilati dan
kuhisap menggunakan mulut, sementara yang kiri kupijat-pijat dan
kupilin-pilin putungnya.
"Mmmm.... surrrrppp!"
"Ahhh.... Urghhh...." Tania tampak tak bisa mengendalikan desahannya.
Aku terus menikmati keindahan buah dadanya, sambil aku
menggesek-gesekkan selangkanganku ke arah selangkangannya yang sama-sama
masih ditutupi celana.
"Di..., Adi...," ia memanggil.
"Kenapa Tan?" tanyaku.
"Mmmmh... kok malah gue lagi gue lagi sih.. sekarang kan giliran lo, kan
tadi lo yang minta," ucapnya dengan mata sayu.
Tania kemudian bangkat berdiri dan mendorongku. Ia membetulkan posisi bh
dan kaosnya, lalu menepuk pundakku.
"Sekarang lo diem aja," ia menggoda.
Lalu ia mulai menjilati leherku, kupingku, sampai ke perut yang ada di
balik kaos yang kukenakan. Aku merinding merasakan lidahnya yang lembut
dan hangat menjalar di sekitar pusarku. Lalu dengan perlahan-lahan ia
menggunakan tangannya untuk mengelus-elus penisku.
"Kayanya lo kedinginan ya, sampe tegang begini?" tanyanya. Aku hanya
mengangguk.
Dengan terampil ia membuka resleting celanaku, lalu merogoh ke dalam dan
mengeluarkan penisku yang sudah keras dan tegang. Ia pun melanjutkan
jilatannya. Batang penisku ia jilati dengan lembut dan penuh perasaan,
hingga permukannya basah terkena air liur. Setelah basah, ia pun
menggenggam penisku dan mengocoknya perlahan.
"Hmmmmh... enak Tan...." gumamku.
Ia juga tak lupa menjilat dan menghisap biji zakarku. Aku mendesah
keenakan, rasanya memang sulit menahan kenikmatan ini. Apalagi ketika ia
membuka mulutnya dan mulai melahap penisku. Ia menghisapnya,
menyedotnya seperti sedang menikmati permen.
"Wiii...wo aaiwa woi waa...." gumamnya tidak jelas. Ucapannya tidak
jelas karena mulutnya sedang disesaki oleh penisku.
"Apa Tan?"
"Wo wao... we waaaia... surrrp!" ia melepaskan penisku dari mulutnya,
lalu menelan ludah, "Ahh. Sial ni mikrofon lu bukannya bikin suara jelas
malah bikin ga kedengeran!"
"He hehe... lo mau ngomong apa sih?"
"Gue mau bilang, kalo lo mau keluar, pliis jangan keluarin di mulut gue
kaya waktu itu.... Rasanya bikin mual. Plis kasih tau ya kalo lo udah
mau keluar...," ucapnya sambil mengocok penisku dengan tangannya.
"Iya deh, nanti gue kasih tau."
"Janji ya?"
"Janji!" aku membentuk huruf V dengan jari tangan.
Tanpa ragu, Tania kembali melahap penisku, kali ini lebih dalam dari
sebelumnya. Ia memaju-mundurkan kepalanya, membuat penisku tertelan
lebih dalam. Aku tak menyangka, dalam waktu singkat ia sudah jadi seahli
ini. Sesekali aku seperti merasakan ujung penisku menyentuh
tenggorokannya. Kehangatan yang luar biasa, sungguh nikmat.
"MMmmmhhh... gila, nikmat banget...." gumamku.
Sambil menikmati sedotannya, aku mengelus-elus rambutnya, merasakan
rambutnya yang panjang dan sehat seperti di iklan-iklan shampoo. Dalam
hati aku bertanya-tanya, apakah kenikmatan fisik ini sudah cukup bagiku?
Apakah di dalam hati Tania tak ada sesuatu yang lebih? Semakin aku
memikirkan itu, semakin bertambah hasratku, dan aku sudah tak bisa
mengendalikannya lagi.
Beberapa menit kemudian, aku pun berbisik, "Tan... gue mau keluar....
mmmh!"
Mata Tania menatap ke arahku dari bawah sana, lalu ia buru-buru
melepaskan penisku. Dengan suara 'ah' yang keluar dari mulutnya, ia
berusaha mengambil nafas yang sejak tadi terhambat, dan itu membuat
wajahnya semakin cantik. Aku memegangi kepalanya agar ia tak menghindar,
lalu kukocok penisku sendiri, dan dalam waktu singkat spermaku keluar
dengan kecepatan tinggi. Muncrat dan mengenai wajah Tania, sebagian ada
yang di dekat hidung, di dekat mulut, dan ada juga yang mendarat di poni
rambutnya. Ada perasaan puas dan nikmat ketika melihat sperma itu
mengalir pelan ke dagu dan ke lehernya.
Tania masih terdiam, sepertinya ia agak kaget menerima 'shower' tadi.
Lalu perlahan-lahan ia menyentuh spermaku di wajahnya menggunakan ujung
jari. Sepertinya ia dapat merasakan sensasi lengket dan kehangatan di
wajahnya.
"Gue bilang jangan keluarin di mulut, malah ngeluarin di muka.
Kebanyakan nonton bokep lo ya?" ucap Tania menyindir.
"Sori, abisnya nggak keburu," kilahku.
"Bisa tambah mulus nih muka gue, kalo maskeran kaya gini terus,"
candanya, "Untung bawa tisu."
Tania mengambil tisu di dalam kantong celananya, lalu membersihkan
spermaku di wajahnya. Harus kuakui, jumlahnya memang cukup banyak. Kalau
tidak salah aku sampai menyemprotkannya enam kali tadi.
"Huff..." aku menghela nafas lega.
"Gimana? udah lega sekarang?" tanya Tania.
"Udah. Lega banget. Makasih ya, Tan."
"Santai aja. Itulah gunanya temen, saling menolong di saat butuh.
hehehe," ucap Tania sambil mengenakan lagi kemejanya.
"Teman..." aku bergumam, lalu tertawa dalam hati.
Tiba-tiba ponsel Tania berbunyi. Ia segera mengambilnya dari dalam tas,
lalu mengangkatnya. Sementara itu, aku membetulkan celanaku.
"Halo...." ucap Tania pada seseorang yang meneleponnya.
Aku berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas. Tania tak banyak
bicara, ia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon
itu. Dan ketika kuperhatikan lagi, aku dapat melihat wajah Tania menjadi
merah, seperti orang yang merasa malu.
Belakangan, aku semakin mengerti, wajahnya yang merona merah saat itu
tak sekedar berarti malu, lebih dari itu, rona merah itu karena ia
sedang jatuh cinta... pada lelaki yang meneleponnya itu.
Bagian 5
Sejak rona merah di wajah Tania muncul saat itu, ia jadi berubah. Aku
merasa kalau ia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku. Tidak
cuma aku, bahkan ia juga jarang berkumpul dengan geng Power Rangers.
Santi yang biasanya paling dekat dengan Tania, ikut-ikutan mengeluh.
"Anak itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia selalu
ada halangan deh," ucap Santi saat kami berempat sedang nongkrong di
kafe.
"Mana gue tau. Kan biasanya elo yang paling deket sama dia?" ucap Rian
sambil mengutak-atik hp-nya.
"Iya, San. Biasanya kalian selalu berdua kemana-mana, kok tumben pisah?"
tanya Galih ikut bingung.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kue. Dalam
hati aku bisa menduga, mungkin ada hubungannya dengan orang yang
menelepon Tania waktu itu....waktu ia habis memberiku oral seks.
"Gue curiga ada hubungannya sama cowok itu...," ucap Santi, membuat
tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk.
"Cowok?" tanya Galih, "Punya pacar dia?"
"Masa? Si kutilang darat punya pacar?" timpal Rian.
"Ga tau deh. Kayanya sih gitu. Gue pernah liat dia jalan sama cowok itu.
Kalau ngga salah sih alumni kampus kita," ucap Santi, "Gue nggak
masalah kalo Si Tan mau pacaran atau mau kawin sekalian, tapi ngga perlu
ditutup-tutupin kan?"
"Ah elo iri kali... Jomblo berapa taun lo?" ledek Rian.
"Haha. Gue sih syukur si Tantan punya cowok. Gue sempet ngira kalian
berdua lesbi!" ucap Galih diikuti tawa Rian, aku juga ikut tertawa.
Santi hanya mencibir.
Esoknya, aku kembali mencoba mengirim sms pada Tania. Bukan untuk minta
'servis' sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari
dia tidak masuk kuliah. Tapi ternyata dia tidak membalas. Kekhawatiranku
semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya.
"Halo, Tan," ucapku.
"Halo, Di. Sori... tadi gue ga liat ada SMS," jawabnya.
Ada setetes kesejukan di dalam dadaku ketika mendengar suara Tania.
Seperti air oase yang membasuh kerinduan.
"Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh. Si Santi juga," ucapku.
"Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain
sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti----"
Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki.
Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki
yang berusaha menggoda Tania. Lalu mereka tertawa, sementara aku masih
mendengarkan telepon.
"Di, nanti gue telepon balik ya!"
Tut... tut.... telepon diputus.
Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali
gersang, lebih gersang dari biasanya.
Tapi untunglah tak lama kemudian Rian dan Galih meneleponku. Mereka
mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan
penampilan band-band indie. Aku menerima tawaran mereka. Mungkin saja
bisa sedikit mengobati perasaan ini.
Kami pergi menggunakan mobilnya Galih, seperti biasa. Tapi selain aku
dan Rian, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Saras, gebetan Galih
yang sedang didekatinya. Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan
aku ada kecurigaan jangan-jangan Galih sengaja mengajak kami karena
ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar anak orang kaya, sepertinya
mudah sekali mendekati perempuan.
Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat ramai. Banyak stand makanan dan
aksesoris yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan, sebuah panggung
lumayan besar sedang menampilkan acara band.
"Gue sama Saras ke sana dulu ya!" ucap Galih sambil menunjuk sebuah
stand ramalan kartu tarot.
Aku hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin
pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Tania... Mungkin aku bisa
mengajaknya ke stand ramalan garis tangan... atau makan es krim...
Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya... Ah....
Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Tania saat perasaan sesak
mulai kembali muncul di dada. Kenyataannya, yang ada di sampingku
sekarang adalah... Rian.
"Lo ngerasa jadi maho nggak jalan berdua sama gue?" ujar Rian sambil
terkekeh-kekeh.
"Sialan lo. Ah, liat band aja yok," ucapku.
Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat
penampilan band. Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik
perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng. Namun ketika band
selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening.
Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong,
dan satu orang perempuan cantik. Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi
aku kenal si perempuan.
Perempuan berkacamata, mengenakan kaos hitam agak ketat, dan celana
jeans sobek-sobek. Aku kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang
sering berpapasan denganku di kampus. Kacamata berbingkai merah selalu
menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih
mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak,
ukuran dadanya lebih besar dari Tania.
Band itu membawakan lagu 'Lithium' milik Nirvana dengan percaya diri.
Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan
nuansa tersendiri pada lagu itu. Entah kenapa aku selalu tertarik pada
perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia
adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok.
Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku lalu tersenyum.
Aku tidak berani membalas. Soalnya aku tidak yakin, benarkah ia
tersenyum padaku? Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tak ada orang
yang tampak membalas senyumnya. Sepertinya benar. Di kampus kami jarang
mengobrol, tapi aku memang selalu merasakan tatapan berbeda dari dirinya
setiap kali kami berpapasan.
"I'm so horny. But that's ok. My will is good...." suara merdu Ghea
terngiang di telingaku beserta lirik itu, juga senyumnya yang menggoda.
Suara merdu Ghea
merasuk hingga ke dalam telingaku. Suaranya yang agak serak terdengar
seksi, membuat tubuhku terasa merinding mendengarnya. Aku mulai
membayangkan, bagaimana jadinya suara Ghea kalau ia sedang
mendesah-desah?
Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran
hp di kantong celana. Aku merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya
aku hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika
melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu
adalah Tania.
Aku ingat, tadi dia memang berjanji akan
menelepon balik, sebab komunikasi kami terputus gara-gara ada seorang
lelaki yang dengan seenaknya menggoda Tania ketika kami sedang
berbicara.
Oh, jadi dia baru sempat meneleponku sekarang
karena dia baru selesai bercumbu dengan lelaki itu? Satu jam lebih.
Sudah berapa ronde, Tan?
Tania menolak memberikan keperawanannya
padaku karena dia ingin menjagannya untuk seorang lelaki yang spesial.
Mungkikah lelaki di telepon tadi adalah lelaki spesial itu? Kalau iya,
berarti mereka memang sudah melakukannya.
Aku bisa
membayangkan. Ketika tadi aku meneleponnya, mungkin Tania sedang
ditiduri oleh lelaki itu. Mungkin posisi missionary, mungkin juga doggy
style, tapi sepertinya sih doggy style. Tania mengangkat teleponku
sambil menungging, lalu lelaki itu dengan enaknya menggenjot vagina
Tania dari belakang. Ketika berbicara denganku, ia terdengar tidak
fokus, sepertinya karena ia sedang berusaha menahan suara desahannya.
Desahan karena rasa nikmat yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Dan
ketika ia hampir mencapai klimaks, ia pun tidak tahan lagi dan langsung
menutup telepon. Aku patah hati, sementara di ujung sana ia menjerit
menikmati orgasme.
Jantungku seperti terbakar membayangkan semua
itu, tapi anehnya kemaluanku malah mengeras. Membayangkan Tania sedang
ditiduri oleh lelaki lain, membayangkan wajah manisnya yang sedang
melenguh, dan payudara mungilnya yang diremas-remas oleh lelaki
misterius itu, serta tentu saja lubang vagina Tania yang sama sekali
belum pernah kutembus…ada yang meledak dalam diriku.
Kepalaku jadi
pusing, getaran hp-ku masih berlangsung. AKhirnya jempolku menekan
tombol reject.
——————
Esoknya di kampus, aku tak sengaja berpapasan
dengan Ghea. Ia memakai kacamata merah maroon favoritnya serta kemeja
coklat yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, samar-samar
memperlihatkan belahan dadanya yang mengundang rasa penasaran. Biasanya
aku jarang menyapanya kalau dia tak menyapa duluan, tapi entah apa yang
terjadi, aku teringat dengan suara seksinya kemarin, dan aku langsung
menepuk pundaknya.
“Ghe!” panggilku.
“Hey, Kak!” Ia
menoleh dan tersenyum padaku. Jantungku berdetak kencang.
“Penampilan kamu
kemarin bagus!” ujarku. Aku memang biasa memakai gaya bahasa yang lebih
sopan pada orang yang belum terlalu akrab.
“Hehe, iya Kak!
Kemarin saya lihat Kak Adi di depan panggung!” jawab Ghea sambil
cengar-cengir. Aku dapat melihat gigi-giginya yang berderet rapi.
Ketika di atas
panggung dan ketika bersama teman-temannya, ia terlihat sangat tomboy
dan blak-blakan, tapi saat berbicara denganku ia malah seperti anak
manis yang sopan. Kami terdiam selama beberapa saat, sepertinya aku
bingung mau bicara apa lagi, bibirku beku, aku hanya menggaruk-garuk
kepala. Namun tiba-tiba Ghea meraih pergelangan tanganku. Ada apa ini?
“Kak Adi belum makan
kan? Yuk, saya traktir!”
Aku kebingungan dengan sikapnya. Apa dia
memang seramah ini?
“Dalam rangka apa nih?” tanyaku sambil
setengah diseret oleh Ghea.
“Tadi sebenernya saya
udah janji sama temen-temen band yang lain, mau latihan. Tapi ternyata
mereka ada urusan, jadi sekarang saya bingung mau ngapain. Kebetulan ada
yang pingin saya tanya sama Kak Adi.”
Hal yang ingin dia
tanyakan itu ternyata masalah pelajaran. Ketika sampai di kantin, ia
menggiringku ke meja pojok yang sedang sepi, lalu ia mengeluarkan
setumpuk buku kuliah. Dia memang satu tingkat di bawahku, dan mata
kuliahnya banyak yang sama dengan mata kuliah yang pernah kuambil, jadi
dia banyak meminta nasehat. Mulai dari masalah tugas-tugas, sifat para
dosen, dan lain sebagainya. Aku kewalahan, sebab aku sebenarnya bukan
mahasiswa yang terlalu pintar, sementara dia adalah mahasiswi yang
sangat cerdas.
“Nah, sebagai ucapan terima kasih, sekarang
Ghea traktir!” Ucapnya sambil menyingkirkan buku-buku dari meja.
————————-
Hubunganku dengan
Ghea semenjak saat itu menjadi semakin akrab. Setiap kali ada waktu
kosong dan kebetulan berpapasan, ia sering bertanya masalah kuliah.
Kadang aku juga bertemu dengan teman-teman bandnya, dan ternyata mereka
orang yang cukup ramah. Aku jadi merasa beruntung, sebab di saat aku
merasa dikhianati Tania, aku malah semakin akrab dengan Ghea. Tapi Tania
tak benar-benar hilang dari pikiranku, terkadang saat sebelum tidur aku
masih sering membayangkan Tania. Tapi aku berusaha menggantinya dengan
bayangan Ghea. Ghea tak kalah cantik, tak kalah ramah, senyumnya lebih
manis, buah dadanya juga (sepertinya) lebih besar. Dan terlebih lagi,
suaranya itu….
Tapi tadi
sore ada satu hal yang membuat pikiranku kembali pada Tania. Awalnya aku
tak sengaja bertemu Santi yang terlihat murung di depan kelas. Wajahnya
kusut, tidak seperti Santi yang selama ini kukenal.
“Kenapa San?”
tanyaku.
“Huhh.. nggak. Ga papa.” jawabnya ketus.
“Masalah Tania?”
Santi
mengangguk. Sejak Tania menghilang dari geng power rangers, Santi jadi
terlihat suram. Mungkin ia merasa dikhianati, sebab Tania adalah sahabat
terdekatnya selama ini.
“Bete gue. Itu anak kenapa sih? Pacaran
sampe segitunya, sampe lupa temen!” ucap Santi.
Aku mengangguk
setuju. Tapi di dalam hatiku, aku merasakan hal yang lebih dari sekedar
kehilangan teman. Aku patah hati.
“Kapan terakhir
ketemu?” tanyaku.
“Tiga hari yang lalu, gue dateng ke kosnya.
Itu pun cuma sebentar, karena dia mau pergi. Bilangnya sih ada kerja
sambilan, ah paling juga pacaran ama cowok barunya itu!”
Aku
menghela nafas. Segala macam bayangan muncul lagi di benakku. “Gue juga
bingung harus gimana. Lo kan yang paling deket sama dia, San.”
“Iya gue tau. Urusan
pribadi dia gue ga berhak ikut campur, tapi sebagai sahabat gue juga ga
bisa cuek. Lo tau ga, apa yang gue temuin di kamar Tania?” Santi
cemberut masam.
“Apa?” aku teringat dengan kamar itu. Kamar
pertama kalinya aku menjadi intim dengan Tania. Saat itu Tania memintaku
meremas-remas payudaranya, dan ia bahkan memberiku handjob sampai
spermaku muncrat ke bonekanya.
“Tapi lo jangan
bilang siapa-siapa ya!” Santi mengeluarkan sesuatu dari kantong
celananya. Sebuah benda kecil dibungkus plastik, di bungkusnya tertulis
sebuah merek alat kontrasepsi terkenal.
“Kondom?!!”
tenggorokanku terasa kering mendadak.
“Sssst!” Santi
memasukkan lagi kondom itu dalam celananya.
Segalanya
tentang Tania menjadi semakin buruk saja. Kekhawatiranku ternyata benar.
Kalau Tania sampai menyimpan kondom di kamarnya, berarti ia sudah
sering berhubungan intim dengan pacarnya, di kamarnya, di tempat
kenanganku bersamanya. Aku berusaha menyembunyikan wajah suramku dari
Santi.
Pada saat
seperti ini, tiba-tiba saja hpku berbunyi. Aku mengangkatnya dan
menebak-nebak siapakah gerangan yang mengirimiku SMS?
‘Kak, sore ini ada
waktu luang nggak? Ada tugas susah yg mau saya tanyain (Sender: Ghea)’
Seorang
mahasiswi kembang kampus yang cerdas dan pintar bernyanyi, yang diincar
oleh banyak lelaki di kampus ini, yang cantik dan seksi, mengajakku
bertemu secara pribadi? Aku tidak tahu kenapa dengan nasib semujur ini
senyumku masih tidak mau melebar juga. Aku tetap saja memikirkan Tania…
entah marah, atau rindu.
Bagian 6
Dengan
berat hati, aku meninggalkan Santi yang masih termenung di depan kelas.
Sedih juga, gini jadinya kalau ranger kuning kehilangan ranger pink. Aku
pun merasa kesal dengan Tania, ia tidak hanya meninggalkan aku, tapi
juga teman-temannya yang lain. Lelaki spesial seperti apa sih yang sudah
merebut hatinya?
Aku membalas SMS Ghea dan mengiyakan
ajakannya untuk bertemu. Dia bilang dia menungguku di kios bakso Pak
Kumis yang ada di seberang kampus, jadi mau tidak mau aku harus keluar
dari kampus ini, kebetulan semua jadwal kuliah sudah selesai. Ketika
melewati tempat parkir, aku melihat sebuah mobil sedan mewah baru saja
masuk dan sedang mencari tempat parkir. Mobil siapa itu? Mungkinkah
mobil dosen atau rektor? Atau mobil mahasiswa anak orang kaya? Tapi aku
belum pernah melihatnya sebelumnya.
Ketika
mobil itu selesai parkir, sesosok pria keluar dari kursi pengemudi. Pria
itu memakai kemeja necis dan mengenakan kacamata, rambutnya pendek dan
disisir ke samping. Dari pintu mobil yang satunya lagi, sesosok wanita
keluar. Ia mengenakan kaos oblong, celana jeans, dan sepatu kets.
Penampilan mereka berdua sangat kontras, tapi aku kenal siapa wanita
itu. Dia adalah Tania.
Wajah
Tania terlihat kaget ketika melihatku, mulutnya menganga dan matanya
menatap mataku tanpa berkedip. Terus terang, aku juga tidak tahu harus
mengatakan apa. Ada perasaan rindu yang amat sangat di dalam dada ini,
tapi ada juga perasaan marah dan patah hati yang tidak bisa ditutupi.
Kalau saja tak ada pria itu di sebelahnya, aku mungkin akan mencoba
bicara. Tapi aku tidak mau. Membayangkan mereka berdiri bersampingan
saja sudah membuatku bisa membayangkan seks macam apa yang sering mereka
lakukan di dalam mobil mewah itu. Lebih dari soal seks, lelaki itu
adalah lelaki spesialnya Tania, lebih spesial dari aku.
“Adi!” Tania
akhirnya memanggilku ketika aku berjalan menjauh. Aku tidak
menggubrisnya, aku tetap berjalan ke arah bakso Pak Kumis untuk menemui
Ghea.
Beberapa langkah aku berjalan, aku merasa ada
yang mengikutiku dari belakang, lalu menepuk pundakku. Ini bukan tangan
Tania. Tangan siapa ini? Tangan lelaki brengsek itu!
“Hey bung! Tunggu
sebentar!”
Bang, bung, bang, bung, dia pikir dia siapa?
Aku memang orang yang terkenal tidak suka cari masalah, tapi kesabaranku
sudah pada batasnya.
Aku menoleh dan menatapnya. Dia beberapa
tahun lebih tua dariku, mungkin itulah kenapa ia terlihat sudah mapan.
Tapi di wajahnya tak ada rasa bersalah, wajahnya terlalu datar. Lalu ia
membetulkan posisi kacamatanya, membuat aku semakin muak.
“Kamu pasti temannya
Tania yang namanya….”
BUAK!
Tinjuku melayang
menghantam kepala lelaki itu sebelum ucapannya selesai. Kacamatanya
lepas, ia terhuyung dan jatuh tersungkur. Ini adalah pertama kalinya
dalam hidupku aku memukul orang karena marah, tak kusangka pukulanku
kuat juga. Satpam dan tukang parkir memperhatikan kami dan bersiap untuk
melerai.
“Kalo lo orang kaya, lain kali kondom beli
sendiri!” ucapku membentaknya. Tania hanya mematung melihat perbuatanku,
wajahnya pucat.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Apa yang
sudah aku lakukan? Memangnya aku siapanya Tania? Memangnya apa hakku
marah pada pacarnya Tania? Memangnya dia salah apa? Memangnya Tania
salah apa kalau dia berhubungan dgn pria lain? Aaaargh! Aku lalu lari
sekencang-kencangnya, melewati gerbang kampus, menuju bakso Pak Kumis.
Di dalam kedai
bakso, Ghea sedang asyik minum jus alpukat sambil memainkan iphone-nya.
Aku tiba di sebelahnya sambil terengah-engah.
“Eh kak adi! Kenapa
ngos-ngosan gitu? Santai aja kali, saya nggak buru-buru kok,” ujar Ghea
sambil tersenyum. Tiba-tiba saja ia terlihat lebih cantik dari biasanya.
Sambil mengatur
nafas, aku duduk di hadapannya dan sedikit berbasa-basi. Ia menanyakan
apakah aku masih lapar, aku bilang tidak.
“Nah, soal yang mau
saya tanyain itu soal ini,” Ghea mengeluarkan lembaran diktat kuliah,
lalu menunjuk satu halaman.
“Oh itu…. Kalau yang
itu sih…” aku terdiam.
“Kenapa?”
Kalau aku
berlama-lama di sini, bisa-bisa Tania dan pacarnya menemukanku, siapa
tahu tadi mereka mengejar dari belakang? Bukannya aku takut lelaki itu
membalas pukulanku, tapi aku tidak sanggup bertemu Tania. Aku harus
segera pergi dari sini.
“Wah… kalau soal yang itu catatanya
ketinggalan di tempat kos. Padahal itu lengkap banget,” jawabku.
“Oh ya sudah, kalau
gitu….”
“Gimana kalau kita diskusinya di tempat
kos-ku aja?” ucapku memotong.
Ghea terdiam, ia
sepertinya terkejut. Lalu samar-samar aku seperti dapat melihat pipinya
memerah. Setelah itu dia tersenyum lebar.
“Boleh aja!” ucapnya.
————————————————-
Aku pergi bersama
Ghea ke tempat kos-ku. Sebenarnya ini ide yg buruk, mengajak perempuan
ke dalam kamar tanpa persiapan apa-apa. Aku bisa membayangkan seberapa
berantakan kamarku, belum lagi cd film-film porno yg mungkin masih
berserakan.
“Haha… Kamar cowok!” ia tertawa ketika aku
membuka pintu.
Aku menyingkirkan beberapa buku yang
berserakan di atas kasur dan menyuruh dia duduk. Tidak lama kemudian,
tiba-tiba ia berteriak senang ketika melihat sebuah gitar tua yang
kuletakkan di sebelah lemari pakaian. Tanpa meminta izin, dia pun
mengambil gitar itu dan membawanya ke atas kasur.
“Ternyata suka main
gitar ya?” tanyanya.
“Dulu sempat pingin belajar, tapi sekarang
sih cuma jadi pajangan,” aku tersenyum, duduk di sebelahnya.
Seperti lupa tujuan
awalnya datang ke sini, ia langsung memainkan gitar itu dengan
jari-jarinya yang lentik. Lalu dia pun mulai bernyanyi.
“Knock knock knock,
knocking on heaven’s door….”
Aku tiduran di
sebelahnya, sementara ia duduk bernyanyi di sebelahku. Seketika saja,
Ghea seperti berubah lagi menjadi gadis rocker yang kulihat di atas
panggung waktu itu, rasanya dia seperti punya kepribadian ganda.
Sambil
mendengar suara merdu Ghea, aku melamun, aku teringat pada semua hal
yang kualami bersama Tania. Kalau saja, seandainya saat itu di bioskop
aku tak tanpa sengaja menyenggol dada Tania, dan tidak datang ke
kost-nya esok harinya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin
kami masih akan tetap bersahabat seperti biasa, tanpa ada embel-embel
apapun. Mungkin aku masih akan menyimpan perasaanku dalam-dalam, tapi
tak akan sesakit ini. Ya, pastinya aku jg tak akan pernah melakukan
hal-hal intim itu bersama Tania, tapi artinya semua itu kalau akhirnya
jadi begini?
“…that
cold black cloud is comin’ down, feels like I’m knockin’ on heaven’s
door…”
Melihatku melamun, Ghea tiba-tiba saja
menepuk pahaku.
“Abis mukul orang, terus ngerasa bersalah
ya?” ucapnya tiba-tiba.
Aku kaget bukan main, aku bangkit duduk dan
menatapnya. Darimana dia bisa tahu hal itu? Jangan-jangan….
“Tadi saya lihat
dari jauh, sebelum masuk ke kedai bakso. Masalah cinta segitiga nih
kayanya? Hehehe…, sori kalau pengen tau!”
Aku
kembali rebahan di atas kasur dan menghela nafas. Lalu Ghea kembali
memainkan gitar dan berdendang ringan. Mungkin karena terhipnotis oleh
suaranya yang merdu, aku akhirnya menceritakan semua itu. Aku
menceritakan semua yang terjadi padaku dan Tania…, perasaanku yang sudah
kupendam sejak lama, hubungan skandal rahasia kami, dan pacar baru
Tania yang membuatku naik darah. Ghea mendengarkan dengan serius, ia
sama sekali tak kaget waktu aku ceritakan skandalku dengan Tania, ia
juga tidak terlihat merendahkan, ia malah terlihat simpatik.
Lalu Ghea
ikut tiduran di sampingku, sambil masih memetik gitar.
“Kak Adi mungkin
nggak tau, kalau sebenarnya Kak adi itu sering jadi bahan pembicaraan
adik-adik kelas, sebagai cowok yang sopan, berkharisma, baik hati dan
kalem. Tapi lucunya, aku nggak kaget waktu tau rahasia pribadi Kak Adi
yang bertolak belakang….” ucapnya dengan suara yg pelan, “dan
mudah-mudahan Kak Adi juga ga kaget kalau tau bahwa….”
“Bahwa apa?”
“Bahwa cewek kaya
saya ini… yah, yang kata orang sih populer, cantik, keren, gaul, dan
hehehe”
Aku menyikut pundaknya, ia balas menyikut
pinggangku, lalu tertawa.
Ia melanjutkan ucapannya, “…iya, bahwa cewek
kaya saya ini, ternyata diam-diam udah lama… naksir Kak Adi.”
Deg!
Jantungku
berdetak lebih kencang dari biasanya. Baru kali ini ada perempuan yang
terus terang mengatakan itu padaku. Bahkan Tania tak pernah satu kalipun
mengatakan kalau ia menyukaiku. Aku menoleh ke arah Ghea yang tiduran
di sebelahku. Ia sedang menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan.
Sangat cute, kemana perginya gadis rocker yang tadi asik bernyanyi? Aku
tertawa dalam hati. Tiba-tiba saja aku juga tertarik mengeluarkan sisi
diriku yang lain.
“Main gitar lagi dong!” ucapku sambil bangkit
duduk. Ia juga ikut duduk.
“Huuu! Maunya konser
gratis! Bayar tiket dong!” ia menjulurkan lidah, lalu membetulkan
kacamata merah maroon-nya.
“Kan aku yang main drum.”
“Oke!”
Ghea memainkan
gitarnya, tapi kemudian berhenti. Ia memicingkan matanya.
“Mana? Katanya Kak
Adi mau main drum? Kok diem aja? Pukul-pukul kaleng biskuit kek, apa
gitu,” ia protes.
“Aku lagi main drum kok!”
“Mana?”
“Nih…,” aku meraih
tangan kirinya, lalu menuntun telapak tangannya itu ke arah dadaku.
“Kedengeran ngga?
Blast beat nih drumnya!”
Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai
memegangi perutnya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu lama tertawa.
“HAHAHAHAHAHA!
Gombal parahhh! Sakit perut nih!”
Aku senyum-senyum
mendengarnya. Selesai tertawa, ia menarik tanganku ke arah dadanya,
gantian katanya.
“Bukan cuma Kak Adi aja yang dari tadi main
drum!”
Telapak tanganku menempel di dadanya, di atas
kancing kemeja yang bagian atasnya ia biarkan terbuka. Sekarang aku
jadi gugup.
“Ohiya, posisi jantung kan agak ke kiri dikit
ya,” ujarnya. Ia menggeser tanganku ke sebelah kiri dadanya, tepat di
atas payudara kirinya. Mata kami saling bertatapan. Di balik kacamata
persegi itu aku dapat melihat kedua matanya yang terlihat agak sayu.
Apalagi ketika tanganku bergeser agak ke bawah.
“Kerasa nggak?”
tanyanya.
“Apanya?”
“Detak jantungnya
lah. Emang ada yang lain?”
“Hmm… Ada…”
Pelan-pelan
telapak tanganku bergeser semakin ke bawah. Aku bisa merasakan ada
bukit yang menonjol di dadanya. Ghea terlihat menahan nafas, matanya
semakin sayu.
Dengan lembut, jari-jemariku mulai memijit
payudara Ghea dari luar kemejanya. Ternyata ukurannya lebih besar dari
yang kukira. Hampir dua kali lebih besar dari milik Tania, tapi masih
pas di telapak tanganku. Aku meremas-remas payudara kiri Ghea dengan
satu tangan, sambil terus memperhatikan ekspresi wajahnya.
“Mhhh…”
suara lenguhan pelan keluar dari bibir Ghea. Suara yang sangat merdu,
suara lenguhan paling merangsang yg pernah kudengar. Spontan saja
penisku berdiri di dalam celana.
“Satunya
lagi….” bisiknya. Menuruti perintahnya, aku pun meraih payudaranya yang
sebelah kanan. Sekarang kedua gunung kembar itu sudah kugenggam, lalu
kupijat perlahan-lahan. Rasanya sungguh kenyal dan kencang. Luar biasa.
“Ghe, buka aja ya?”
“Mmmmh…. iyah….”
Aku
penasaran dengan belahan dada yang sejak tadi mengintip dari kerah
kemejanya. Lalu dengan perlahan-lahan aku membuka kancing kemeja Ghea,
satu-persatu. Semakin banyak kancing yang kubuka, semakin jelas terlihat
payudaranya yang bulat menggoda. Ia mengenakan bra putih yang sangat
seksi. Aku kembali meremas kedua payudara Ghea. Lalu tanpa diminta, ia
melepas kacamata yang ia kenakan, kemudian ia mencium bibirku dengan
ganasnya. Aku didorongnya sampai telentang di kasur, kemudian ia naik ke
atasku dan kembali menciumi bibirku.
“Kak…
kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok yang paling spesial,” ucapnya
dengan nafas yang memburu….
memburu
kenapa...???
Bagian 7.
-“Kak… kalau buat saya, Kak Adi adalah cowok
yang paling spesial,” ucapnya dengan nafas yang memburu.
Ia kembali
melumat bibirku, ciumannya sangat ganas, sangat terlihat kalau ia sudah
berpengalaman. Lidahnya masuk ke dalam mulutku dan mencoba bersentuhan
dengan lidahku.
Sisi liar
Ghea muncul keluar, ia bahkan sesekali menggigit bibirku. Aku jadi
kewalahan, dibandingkan dengannya, aku masih sangat cupu.
Tapi aku
tidak mau kalah. Langsung kubalikkan tubuhnya sehingga ia ada di
bawahku. Kusibak rambut panjangnya yang indah, lalu kuciumi lehernya. Ia
mendesah menahan geli.
“Aw! Geli!” ia menjerit pelan.
Tanganku
terus meremas-remas buah dadanya, sesekali memilin putingnya yang sudah
mulai menegang. Sejujurnya, aku tak menyangka hal seperti ini akan
terjadi sewaktu mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tapi aku sungguh tak
bisa menolak Ghea.
Ciumanku
turun dari leher ke belahan dadanya, lalu ke puting kanannya.
Kujilat-jilat putingnya, ia pun mendesah semakin keras.
“Aaah… Mmmmh….”
suaranya sangat merdu, rasanya aku tidak ingin berhenti mendengarnya.
Aku bergantian
menghisap kedua putingnya, dan ia terus-menerus mengelus-elus rambutku.
“Mmmh…Lebih besar
mana sama punya Tania?” ia bergumam sambil mendesah, melemparkan satu
pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Aku tak ingin membicarakan Tania,
sebab yang ada di hadapanku sekarang adalah Ghea. Jawabannya sudah
jelas, buah dada Ghea lebih besar dan lebih nikmat.
Srurrrpt!
“Awwwh!”
“Enak?” tanyaku.
“Banget!”
Ciumanku turun dari
payudaranya ke parah perutnya yang ramping. Kumainkan lidahku di
sekeliling pusarnya, Ghea menggelinjang kegelian. Sementara itu tanganku
melepaskan celana jeans-nya secara perlahan-lahan. Ghea tampak tidak
keberatan, ia bahkan membantu membukakan celananya.
Setelah celana
jeans-nya terbuka, aku dapat melihat celana dalam putih yang ia kenakan.
Aku mengelus-elus kedua pahanya yang mulus, lalu menciumi lututnya.
Ghea tampak kegelian dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Jangan gerak-gerak,
nanti kepalaku kena tendang!” protesku.
“Sorii! Abisnya
geli!”
Ciumanku menjalar dari lutut, ke pahanya,
lalu ke selangkangannya. Cuma ini cara yang kutahu untuk memuaskan
wanita, cuma sampai hal ini saja batas pengalamanku. Aku memerosotkan
celana dalam Ghea, dan terlihatlah vaginanya yang sudah dicukur bersih
dan mulus. Kepala Ghea menengadah, memandangi langit-langit kamar
kostku. Dengan gerakan yang lihai, aku langsung menjilati vagina Ghea.
Ia pun semakin berkelojotan, terpaksa aku memegangi kedua kakinya.
“Aaaaah… uuuh… Kak
Adi.. baru pertama kalinya aku diginiin… Uuuh… Nggak tahan….”
Jilatanku semakin
liar. Kumasukkan lidahku ke sela-sela lubang vaginanya, lalu
kugerak-gerakkan. Tak lupa semua teknik oral yang pernah kulihat di film
porno kupraktekkan pada vaginanya. Ia semakin merasa nikmat, desahannya
berubah jadi jeritan-jeritan tertahan, lalu erangan yang sangat merdu.
“Gilaaaa….
Arrrghhhh….!” Ghea mengerang panjang, namun aku menghentikan
permainanku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti mengalami de javu.
Beberapa detik tadi aku sempat lupa kalau vagina yang ada di hadapanku
adalah milik Ghea, bukan Tania.
“Hah.. hah… Kenapa
berenti…?” keluh Ghea manja.
“Ngg.. Nggak
apa-apa…” jawabku.
“Udah nggak tahan… masukin aja Kak.”
Aku termenung
mendengar permintaannya, “Masukin?”
Ghea menatapku,
matanya seperti heran kenapa aku bertanya.
“Iya, masukin punya
Kak Adi…Kont0l Kak Adi… uuhh.”
Aku ingat aku belum
pernah melakukan ini, sebab Tania selalu melarangku menembus
keperawanannya. Mungkin Ghea memang sudah tidak perawan, tapi entah
kenapa aku jadi merasa agak canggung.
Melihatku yang tak
juga menuruti permintaannya, Ghea bangkit dari posisi tidurnya, lalu
bergegas membuka celanaku. Dengan gerakan yang seperti sudah terlatih,
ia segera mengeluarkan penisku yang sudah berdiri tegang. Lalu ia
menggenggamnya menggunakan tangan kanannya.
“Aku bikin lebih
tegang lagi ya Kak, tapi jangan keluar dulu.”
Ghea mengocok-ngocok
penisku dengan tangannya, lalu tanpa ragu ia langsung memasukkan
penisku ke dalam mulutnya. Ia menghisapnya dengan lembut, batang penisku
terasa disedot sampai ke bagian terdalamnya.
“Oooohh…” aku
mendesah tak tertahankan, Ghea masih terus menghisap penisku, sesekali
kepalanya maju mundur.
Kemudian ia menghentikan gerakan kepalanya
dan malah mendorong pinggulku ke arah mulutnya.
“Kak…. entotin mulut
Ghea…” ucapnya dengan suara yg sulit terdengar karena penisku masih ada
di mulutnya.
Aku terkesima dengan permintaannya yang
berani itu, tapi aku tak mungkin menolak. Dengan kedua tangan, aku
memegangi kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang. Kudorong penisku
ke arah mulutnya, lalu kutarik sedikit. Kudorong lagi, tarik lagi.
Semakin lama penisku terdorong masuk semakin dalam ke mulutnya, hampir
ke tenggorokannya. Rasanya sungguh luar biasa, tulang belakangku seperti
mau lumer saja.
Dengan nafsu yang membumbung tinggi, aku
menggenjot mulut Ghea, semakin lama semakin cepat. Sesekali Ghea seperti
hampir terbatuk-batuk, tapi ia menolak untuk melepaskan penisku. Sampai
pada saat sodokan penisku di mulutnya menjadi sangat kuat, Ghea menarik
mulutnya, ia batuk berat dan hampir muntah, air liur menetes dari
mulutnya yang sejak tadi tak bisa bergerak.
“Ghe, kamu nggak
apa-apa? Maaf ya, maaf!” ucapku khawatir melihatnya.
“Hoek! Uhuk uhuk!
MMmmmng…. Nggak apa-apa… Hemmm….Nggak apa-apa kok,” jawabnya sambil
berusaha tersenyum.
Setelah nafasnya kembali tenang, ia telentang
di atas kasur, lalu menuntun penisku ke dekat vaginanya. Sambil
menggenggam penisku, ia menggesek-gesekkannya ke bibir vaginanya yang
sudah basah. Ia ingin aku memasukkannya.
“Kamu yakin, Ghe?”
tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Ghea tertawa
cekikikan. “Biasa aja kali, Kak. Nggak usah gugup gitu.”
“Oh kamu udah sering
ya?” tanyaku.
“Nggak sering, pernah sekali. Tapi buat Kak
Adi, berapa kali pun boleh.”
Aku mendorong penisku
ke bibir vaginanya. Rasanya sangat sempit, aku sampai tidak tahu harus
mendorongnya seperti apa.
“Nih saya bantuin Kak, pelan-pelan ya,” ucap
Ghea.
Dengan bantuan dari tangan Ghea dan gerakan
pinggulnya, akhirnya penisku bisa masuk juga ke dalam vaginanya. Rasanya
sungguh luar biasa. Rasa hangat, lembut, dan jepitan dinding-dindingnya
di batangku membuat pikiranku melayang entah kemana. Aku memeluk tubuh
Ghea dan mencium bibirnya, lalu Ghea berbisik.
“Kak Adi nggak usah
nungguin Tania lagi ya? Kalau sama saya, semuanya saya kasih…”
Aku mulai
menggerakkan pinggulku perlahan-lahan. Penisku keluar masuk di vagina
Ghea, bergesekan tanpa henti, merasakan cengkraman vaginanya yang sangat
kuat.
“Ahhh…”
“Ooohh… gimana kak
rasanya kehilangan keperjakaan?” ledek Ghea sambil berusaha tertawa.
“Rasanya… rasanya
kaya begini…” aku mempercepat genjotanku, membuat sodokan-sodokanku
semakin kuat.
“Ahhh! Ahh! Ohh! Nikmat!” Ghea menjerit-jerit
setiap kali penisku menusuk bagian dalam vaginanya.
“Iya, nikmat. Ohh
ohh!”
Lama-kelamaan
genjotan pinggulku semakin stabil, Ghea juga sepertinya semakin bisa
mengendalikan nafas. Aku meremas-remas payudaranya, lalu mengecup
bibirnya. Sambil terus menggenjot, aku mengambil kacamata Ghea yang tadi
ia lepas di dekat kasur. Lalu aku memakaikan kacamata itu pada Ghea, ia
tersenyum melihat tingkahku.
“Kayanya kamu lebih
seksi kalau pakai kacamata,” ucapku menggodanya.
Permainan
kami semakin lama semakin intens. Sesekali aku memutar-mutar penisku di
dalam vagina Ghea, membuat dia menggelinjang. Sesekali juga aku
mencampur antara genjotan cepat dan gesekan lembut.
Setengah
jam berlalu, permainan kami mulai mendekati klimaksnya. Aku dapat
merasakan penisku seperti akan meledak, sementara Ghea sudah
terengah-engah dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain desahan dari
mulutnya.
“Ah… ah… ah… Kak… Ah… Ah.. oh… sebentar lagi…
“
“Ugghh… Ghe… Ohhh… sama… juga… ahhh”
Dalam
keadaan seperti itu suasana kamar di sekelilingku seperti lenyap. Itulah
kenapa aku tak sadar ketika ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu
kamarku. Aku tak menggubrisnya, aku terus menggenjot Ghea tanpa henti.
Hingga aku sadar kalau pintu kamarku tadi lupa dikunci, dan terbukalah
pintu kamar itu, lalu Tania melangkahkan kakinya masuk.
Tania
melihatku. Tania melihat kami. Ekspresi wajahnya sangat pucat ketika ia
membuka pintu kamarku lalu memergoki aku dan Ghea yang sedang bercinta
dengan penuh gelora. Mata Tania melotot, seolah tak percaya dengan apa
yang dia lihat.
Anehnya,
aku tak bisa menghentikan gerakanku. Ghea juga sepertinya sudah tak
sanggup lagi memikirkan keadaan di sekelilingnya. Sambil disaksikan oleh
Tania yang mematung karena shock di depan pintu, aku mempercepat
genjotanku di vagina Ghea, hingga akhirnya aku dan Ghea mencapai orgasme
secara bersamaan.
“Aaaaaarghhh!!! Aaaaah!” aku dan Ghea
menjerit hampir bersamaan, seolah seperti paduan suara yang sedang
menyanyikan nada tinggi.
Spermaku muncrat di dalam vagina Ghea,
sementara Ghea mengeluarkan jeritan panjang dan punggungnya melengkung
seperti busur. Tubuh kami lumer menjadi satu, keringat kami bercampur
dalam jeritan.
Tania
masih di depan pintu, seperti patung yang beku. Kecuali air matanya yang
perlahan-lahan menetes keluar, memperhatikan aku dan Ghea yang masih
terengah-engah menikmati sisa orgasme kami. Air mata Tania semakin
banyak keluar, dan ketika hampir membanjiri pipinya, ia pun membalikkan
badan dan lari sekencang-kencangnya dari kamar kost-ku.
Aku
bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Tania menangis? Kenapa? Entah mengapa,
aku juga jadi ingin menangis. Tapi Ghea segera memeluk kepalaku dan
mendekapnya. Kami tertidur di atas kasur, di dalam kamar, dengan pintu
yang terbuka.
Bagian 8.
-Tatapan dan air mata Tania terus
menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yang bisa kubuat
supaya aku tidak usah peduli, tapi kenyataannya aku merasa hidupku
hancur berantakan. Rasanya bernafas saja susah.
Apa yang
sudah aku lakukan? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu
selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aku mengingatnya.
Tepat
setelah kejadian ironis itu selesai, Ghea sempat minta maaf padaku.
Awalnya dia cuma terdiam. Kami kembali mengenakan pakaian kami yang
tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi kemejanya, belum memakai
celana, ia menatapku tanpa suara. Aku mengancingi celanaku dan menunggu
ia mengeluarkan kata-kata.
“Maaf kak,” ucapnya.
Hatiku
semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aku
yang memulainya terlebih dulu. Lagipula kalau mau jujur, aku yang
bersalah padanya. Aku telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan
rasa kesepianku yg kelam. Bukan salah dia kalau akhirnya aku mendapat
ganjaran dari perbuatanku sendiri.
“Bukan. Aku yang
harusnya minta maaf. Aku khilaf.” jawabku.
Setelah itu ia
memelukku. Pelukan yang tanpa nafsu, tapi penuh dengan rasa gelisah.
Beberapa menit kemudian aku mengantarnya pulang.
———————
Beberapa hari
kemudian di kampus aku sempat bertemu dengan Santi dan geng power
rangers yang lain, kecuali Tania. Beda dengan sebelumnya, kali ini Santi
tidak terlihat terlalu murung. Kami duduk di kantin untuk makan siang
bersama sambil ngobrol-ngobrol.
“Eh Bro, gimana tuh
kabar nya si Saras?” tanya Rian pada Galih sambil menyikut lengannya.
Saras adalah gebetan Galih yang pernah dia ajak bersama kami ke festival
kampus.
“He he he… baik-baik aja kok.” Galih
menggaruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalau sedang grogi.
“Tumben tampang lo
kaya gitu. Biasanya kalo ngomongin gebetan tampang lo stay cool aja.
Pasti ada yg beda nih sama gebetan lo yang satu ini?” Santi ikut-ikutan
menyindir sambil melahap bakso di depannya.
“Bisa aja lo semua….,
biasa aja kok.”
“Di, lo inget ga? Sewaktu abis nganterin kita
pulang dari festival musik di kampus Z waktu itu, si Galih kan jalan
terus tuh sama si Saras, kemana coba?” tanya Rian padaku.
“Hmmm… ke mana ya?
Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.
Rian menoleh ke arah
Galih sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak. “Lo bawa ke
rumah?”
“Nggak lah!” sanggah Rian.
“Lo tunjukin koleksi
bokep original lo ya?” ucap Santi. Galih tertawa terbahak-bahak.
“Sialan lo semua.
Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu gue langsung
nganterin dia pulang kok!” Galih membela diri.
Sewaktu
kami sedang asyik menggoda Galih, Santi menngangkat panggilan masuk di
hp-nya. Aku tidak terlalu jelas mendengar apa yang ia katakan, awalnya
wajah Santi terlihat ketus, tapi tak lama kemudian seutas senyum
terlihat di bibirnya.
“Woy,
guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Santi setelah menutup
teleponnya.
Kami semua terdiam dan memandangi Santi,
penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.
Santi memajukan
kepalanya dan berbisik. “Guys, temen kita si ranger pink yang udah lama
ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan
sepuasnya!”
DEG!
Jantungku seperti berhenti berdetak. Sementara itu Galih dan Rian
bersorak gembira, aku berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal
tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Jantungku berdetak
kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aku
bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aku bisa pura-pura pergi
ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalau nanti ada yang bertanya aku bisa
bilang kalau aku ada keperluan mendadak.
Sebelum aku sempat
melakukan itu, Santi sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku
menoleh ke arah yang ditunjukkan Santi, lalu aku dapat melihat Tania
berjalan ke arah kami dari salah satu sudut kantin. Ia memakai t-shirt
ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yang berbeda dari
biasanya. Tania memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek
seleher, memperlihatkan lehernya yang indah, membuat ia tampak lebih
seksi.
Ia
berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdetak. Kemudian
Tania menghampiri Santi dan cipika-cipiki seperti teman lama yang baru
bertemu kembali.
“Buset!
Potong rambut lo Tan?” goda Santi.
“Iya dong! Pantes
ngga rambut baru gue?” ujar Tania sambil membelai rambutnya sendiri.
Samar-samar aku dapat mencium wangi parfum Tania. Lebih harum dari
biasanya. Saat ia bicara aku juga dapat melihat bibirnya yang dibalut
lip gloss seolah tampak basah.
“Kemana aja lu?”
sahut Rian.
“Iya, nggak pernah muncul. Pacaran mulu lo
ya?” tambah Galih.
“Ada deeeh… Ntar gue jelasin!”
“Payah lo ah. Kasian
tuh si Adi, kangen sama lo, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Galih.
Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aku tahu dia
cuma bercanda, tapi ucapannya begitu telak membuat aku dan Tania
sama-sama terdiam.
“Hahahaha…. boro-boro gue kangen….. kangen
band kali!” aku mencoba ikut bercanda, tapi jadi terdengar maksa.
Tania
duduk di kursi kosong di sebelah Santi, tepat di hadapanku. Kemudian ia
merebut es teh manis Santi dan menyedotnya tanpa meminta izin. Santi
protes, dilanjutkan dengan candaan Galih dan Rian yang sangat garing.
Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti
suasana persahabatan kami dulu, suasana yang nyaman dan menentramkan
yang sangat kami rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti
dulu. Tapi aku tahu saat ini ada yang berbeda, setidaknya bagiku dan
Tania.
“Jadi
begini kawan-kawan…” Tania mulai membuka suara, “gue minta maaf kalau
selama ini gue sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… gue emang
sempat ada masalah yang makan perhatian banget. Tapi sekarang…., gue
bawa kabar gembira.”
“Kabar
gembira apa Tan?” tanya Rian penasaran.
Tania dan Santi
senyum-senyum, mereka sudah mengetahui sesuatu. Selama beberapa detik,
Tania melirik ke arahku, kemudian kembali membelokkan pandangan.
“Gue…Ehm… Sebentar
lagi gue bakal… tunangan.” ucap Tania. Suaranya agak gemetar ketika
mengucapkan itu.
Sorak
sorai Rian dan Galih terdengar bersahutan, Santi mengacak-acak rambut
pendek Tania. Galih mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kami semua
bersulang, seperti adegan bar di film-film. Tidak perlu dijelaskan lebih
lanjut, aku tahu dengan siapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun
dimulai. Galih, Rian dan Santi bergantian menanyai Tania soal rencana
pertunangannya itu.
Dengan
kaki yang lemas, aku bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah
Tania. Aku berusaha tersenyum.
“Selamat ya…” ucapku.
Tania
menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tapi pandangan matanya terus
menunduk.
Aku tidak tahan lagi, aku harus segera pergi
dari sini.
“Eh guys,
sori ya. Gue harus cabut duluan nih. Gue baru inget kalau siang ini gue
udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.
“Ah nggak asik lo
di!” gerutu Rian.
“Iya… Rugi lo, nggak dapet traktirannya
Tania,” ujar Galih.
“Sori, sori banget!” ucapku. Kemudian aku
menoleh ke arah Tania.
“Maaf ya, Tan.” ucapku.
Teman-temanku
yang lain mungkin berpikir aku meminta maaf karena tidak bisa mengikuti
acara perayaannya, tapi aku dan Tania sama-sama tahu, kata maaf itu
punya makna yang lain, makna yang lebih dalam dan lebih luas.
“Maaf, gue
harus pergi sekarang,” ucapku lagi.
Saat aku
membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yang
menahanku. Tapi sepertinya aku mendengar suara Tania memanggil namaku
pelan. Tapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.
———————————————————
Di depan kampus,
tanpa sengaja aku bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia
melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara
kami.
“Ghe, ikut
yuk!” aku menarik tangannya. Untung ia sudah selesai memfotokopi.
Aku
mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah kafe yang letaknya agak jauh
dari kampus. Sebenarnya aku tak bermaksud menjadikannya sebagai
pelarian, tapi masalahnya cuma dia saja yang mengetahui soal hubunganku
dengan Tania, aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa kalau bukan
dengan Ghea. Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat,
seperti orang yang sedang berpacaran. Aku dapat merasakan buah dadanya
yang menempel di punggungku, tapi pikiranku sedang kacau, jadi aku tak
bisa menikmati hal itu.
Di kafe,
kami duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kami
pun memesan minuman dingin.
“Kenapa
Kak?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.
Aku
menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yang
terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot
minuman yang baru saja diletakkan pelayan di meja kami.
“Jadi, Kak Adi masih
mengharapkan Tania?” tanya Ghea.
“Nggak…. Nggak tau….”
jawabku. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.
“Mungkin Kak Adi
cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan
Kakak yang sebenarnya ke dia, kan?” ucapnya lagi.
Aku
termenung. Mungkin benar yang diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah
semacam obsesi.
“Jadi
menurut kamu?”
“Kak Adi harus ungkapin dengan jujur apa yang
Kak Adi rasain selama ini pada Tania secara langsung, supaya nggak ada
beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.
“Setelah itu?”
“Setelah itu, lupain
dia.”
Aku terhenyak. Melupakan Tania?
“Tapi….” gumamku
ragu-ragu.
“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah
buat pilihan masing-masing kan? Tania udah punya tunangan… dan Kak
Adi…. udah punya saya.”
Aku
kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aku mulai bisa menebak.
Jangan-jangan apa yang terjadi di antara kami waktu itu dia anggap
sebagai tanda bahwa kami….
“Ghe… di
antara kita nggak ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari
mulutku.
Genggaman
tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya
terlihat agak gemetar. Ketika aku melihat wajahnya, aku dapat melihat
api yang membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan.
Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.
“Denger ya
Kak…. saya memang bukan perempuan yang sok suci seperti Tania… tapi
saya juga bukan pelacur munafik seperti dia yang bisa Kak Adi jadiin sex
friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”
Ghea
bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kafe dengan penuh amarah.
AKu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam
hati. Aku kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aku
salah, aku malah semakin terpuruk.
Bagian 9.
Malam ini saat mulai
tidur kepalaku terasa berat. Aku gelisah selama beberapa jam, namun
menjelang dini hari akhirnya aku bisa tertidur juga. Aku tidak tahu
berapa lama aku tidur, sepertinya sebentar, karena ada sesuatu yang
membuatku terbangun.
Ada yang
mengusik badanku saat aku sedang tertidur lelap. Sebuah benda berat
menindih lenganku. Aku membuka mata dan melihat lampu kamar masih
menyala, sepertinya aku tadi lupa mematikannya. Mataku terasa perih,
lalu aku mengedip-ngedipkannya sebentar, sampai mataku mulai terbiasa.
Lalu saat aku melihat ke sebelah kiri, aku terkejut. Benda berat yang
menindih lenganku adalah Tania.
Tania
tiduran di sebelahku. Kepalanya ada di dekat pundakku, sementara
badannya memeluk erat lengan kiriku. Ia mengenakan kaos putih tipis dan
celana pendek longgar, wangi sabun dari tubuhnya bisa kucium dengan
cukup jelas.
Kenapa ia
bisa ada di sini? Jantungku berdetak kencang. Aku ingat, mungkin aku
lupa mengunci pintu kamar ketika akan tidur tadi. Aku kelelahan dan
pikiranku kacau, aku sampai tak ingat mengunci pintu.
“Di….,”
Ucap Tania agak mendesah. Rupanya ia tidak tidur.
Tania menegadahkan
kepalanya, berusaha menatap wajahku. Jarak wajahku dan wajahnya kini
hanya beberapa senti.
“Maafin gue, Di…. Gue tau gue yang salah,”
ucapnya pelan.
Aku berusaha menenangkan diriku. “Tan… kenapa
lo tiba-tiba ke sini?”
Tania menghela nafas, lalu memeluk lenganku
dengan lebih erat. Aku dapat merasakan gesekan payudaranya dari luar
kaos yang ia kenakan.
“Hmmmm…. gue pengen, Di…”
Aku kaget mendengar
kata-katanya. Ucapan Tania berhasil membuat darahku berdesir. Sebelum
aku sempat mengucapkan apa-apa, tiba-tiba Tania mencium leherku, lalu
tangannya meraba penisku dari luar celana boxer yang aku pakai.
“Tan…. kenapa lo
tiba-tiba jadi… “
“Mmmmmh….. Mmmmhhh…” bibir kami langsung
beradu, saling lumat dan saling hisap. Oooh, sungguh aku merindukan
bibir ini. Aku merindukan kelembutan bibirnya setelah sekian lama.
Tangan
Tania menyelinap ke balik celanaku, lalu ia mengambil batang penisku
dan
mengeluarkannya dari celana. Dengan gerakan
yang pelan dan lembut ia mulai mengocoknya, sementara itu bibir kami
terus berpagutan. Refleks, tanganku juga menyelinap ke balik kaosnya dan
mencari gunung mungil yang sudah lama kurindukan. Aku meremas payudara
kiri Tania dan memainkan putingnya. Putingnya sudah keras dan tegang,
sangat enak untuk dimainkan menggunakan jari.
Tania
bangkit, ia duduk di atas lututku. Lalu ia mengarahkan penisku yang
sudah berdiri tegak ke arah selangkangannya yang masih terhalang celana.
Pelan-pelan ia menggesek-gesekkan ujung penisku ke selangkangannya.
“Hhhhh…. gue kangen
sama kont0l lo, Di…. Mmmhhh…”
Tak lama kemudian ia
memerosotkan celananya sendiri beserta celana dalamnya. Terlihatlah
vaginanya yang bekas dicukur dan masih tak berubah seperti dulu. Tania
menggesek-gesekkan ujung penisku di bibir vaginanya namun tampak
berhati-hati.
“Tan…. Ohhh….” aku tak sanggup menahan
desahan.
“Uhhh… cuma gesek-gesek aja ya Di…. ini yang
terakhir kalinya…” desah Tania.
Mendengar kata-kata
itu tiba-tiba saja aku jadi merasa agak kesal. Aku tidak mau. Aku tidak
mau cuma sekedar begini. Aku menginginkannya. Aku ingin tahu apakah dia
masih perawan atau tidak saat ini. Aku tidak mau kehilangannya.
Tanpa
minta izin terlebih dahulu, aku menarik kedua tangan Tania, lalu aku
lempar tubuhnya ke atas kasur. Aku menindihnya, kutahan kedua lengannya
dan kulebarkan kedua kakinya.
“Aw! Di! Lo mau
ngapain?” Tania protes.
“Please, Tania…. Gue mau jadi yang spesial
buat lo… gue mau….” ucapku sambil berusaha menahan tangannya yang
meronta-ronta.
“Jangan Di… gue udah, gue udah tuna.. nga…
aaaaaah!”
Dengan gerakan yang memaksa, kepala penisku
masuk ke dalam bibir vagina Tania. Ia masih berusaha melawan, tapi
tenagaku lebih kuat dalam menahan gerakan tangan dan kakinya. Kudorong
lagi pinggulku ke arah depan, penisku masuk semakin dalam ke lubang
vagina Tania. Oooh… rasanya sungguh luar biasa. Rasanya berbeda dengan
lubang vagina Ghea, milik Tania terasa lebih hangat dan lebih lembut.
Kuteruskan mendorong penisku, lalu kugunakan sedikit tenaga hingga
batang penisku masuk seluruhnya ke vagina Tania.
“Adiiii…! Aghhh!
Sakiiiit! Sakit Di….!” Tania menjerit. Gerakan tangannya berubah menjadi
lemas, dan sedikit demi sedikit ia berhenti melawan. Tapi ia mulai
menangis.
“Tan… jangan nangis… please gue minta maaf,”
ucapku.
“Sakiiit…. lo jahat….. “
Aku melihat ke arah
vagina Tania, lalu aku menemukan bekas darah yang membasahi seprei
kasurku. Aku terkejut. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.
“Lo masih perawan,
Tan?” tanyaku terbata-bata.
“Sekarang udah nggak,
bego lo! Bego!” Tania memeluk leherku dan berusaha menghentikan
tangisannya.
Aku tidak
mau menyia-nyiakan ini. Perlahan aku mulai menggenjot vagina Tania,
awalnya agak pelan karena aku tidak ingin menyakitinya lebih lanjut.
Dinding vagina Tania terasa sempit dan meremas-remas batang penisku.
Jadi seperti inilah vagina dari perempuan yang selama ini selalu
kurindukan, yang selalu kuinginkan. Luar biasa.
“Aaaaaah…. Aaakhh…
Ooouhhh…” Aku terkejut mendengar Tania mulai mendesah. Ternyata ia cepat
bisa menikmati ini.
“Udah nggak sakit kan, Tan?” tanyaku sambil
mempercepat genjotan.
“Nggak…. ahhh enak… mmhhh….” desah Tania.
“Gue cepetin lagi
ya?”
“Uuhh… Iya Kak… yang cepet… terus Kak….”
“Hah? Tan? Sejak
kapan lo manggil gue Ka…..”
Tania melepaskan
pelukannya, lalu aku dapat melihat wajahnya. Ia bukan Tania! Ia Ghea!
Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal!
Ghea
berbaring di bawahku, kakinya direntangkan lebar, tangan kirinya
meremas-remas payudaranya sendiri. Ghea tampak tersenyum, tapi ia terus
menggerak-gerakkan pinggulnya supaya aku tidak berhenti menggenjotnya.
Ia tersenyum sambil mendesah, lalu perlahan ia mengacungkan jari
tengahnya ke depan mataku.
Aku
gemetar sekujur tubuh. Dengan sangat cepat, Ghea bangkit dan mendorong
tubuhku. Aku jatuh terlentang, lalu kepala Ghea turun hingga ke depan
penisku. Ia kemudian menghisap penisku dengan mulutnya. Lalu ia
menggigitnya. Ia menggigit penisku! Krauk! Krauk! Aku menjerit sekuat
tenaga. Aaaaaaaa!
Lalu aku
terbangun di atas tempat tidur. Cuma mimpi? Tidak ada siapa-siapa di
sampingku. Tidak ada Ghea, tidak ada Tania. Aku masih sendiri.
[Sequel]
Rasa untuk Tania ( TAMAT)
Sejak kemarahan Ghea akibat kebodohanku yang
tentu saja sangat menyinggungnya, Ghea sangat sulit untuk ditemui.
Bahkan, akhirnya kudengar ia transfer studinya ke univ lain. Ah,
Ghea..lupakanlah...maafkan aku…
Dan Tania? Sejak ia memergoki aku dan Ghea di dalam kamar, ia pun
menghilang… Yang kudengar bahwa ia benar-benar telah melangsungkan
tunangan dengan Josh, pria berkacamata yang pernah kupukul saat itu
karna cemburu buta..
Tiga bulan berlalu…Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Tania.
Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan
mengakumulasi ke kelenjar otak. Galih dan Rian, teman-teman sekos-ku
sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif.
Aku tahu saat ini pasti Tania sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia
pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila
anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku
belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Rian, teman
kosku jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi
lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama
terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Tania
ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke kosnya di utara Yogya itu.
Tapi mobil Josh yang sering nongkrong di depan kos itu membuatku kecul
sendiri. Kamu memang pengecut Adi! Entahlah.
Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun
di pojok membuat wajahku pias. Tania? Dia duduk sambil memelototi buku
the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.) Kacamata
bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang
luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa
mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun
dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap
dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming
sedikitpun.
Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Josh! "Hey..
sayang… masih lama?" sapanya hangat. Tania hanya mengangguk dengan
senyum yang pasti begitu aneh. Tania segera bangkit. "Yuk Josh pulang...
pulang dulu ya Di!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi
begitu saja.
Aku hanya terbengong dan kelu. Begitu kaku antara aku dan Tania setelah
peristiwa lalu.
Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat
yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku,
Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore
gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Galih menggedor pintu
kamarku. "Adi... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan,"
pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau
melamar tunangannya. " Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ?
"Ngapain bang? Ada yang ketinggalan?" "Ngg... anu Adi ada tamu!" Kenapa
sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku.
Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku
hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Tania!
Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans
belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke
Merapikah? "hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa
menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar.
Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Datang, pergi dan kembali tanpa
memikirkan perasaanku padanya yang begitu tersiksa.
Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Galih yang
terburu-buru pergi.
"Teman kos mudik semua.. Josh pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal.
Males di kos. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan
tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal
pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di
kosnya yang super besar itu. "Sampai kapan?" tanyaku sekenanya. "Tahu!
Mungkin sebulan. Kalo teman2 sih lima minggu. Kamu kalo mau pergi, pergi
aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat
dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.
Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku
ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah
panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru
kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Tania di rumah kontrakkanku.
Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di
daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2
botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Tania).
Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Tania ketiduran. Kubuka gerendel,
aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah?
Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan
takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di
kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena
ketakjubanku.
Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja
nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi
biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat
kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Tania dengan rok
terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok
itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada
turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya
penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia
tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di
telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini.
Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady
wants to Know" mengalun, Tania memegang tanganku. "Shall we dance?".
Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih
menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan
yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin
meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat
erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu
kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu menJoshgakkan kepalanya yang
tadinya rebah di dadaku.
"
Sebelum kuserahkan tubuh ini kepada orang lain….
Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang
hatimu..." bisiknya lembut.
Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku.
Aku masih ingat Tania selalu menjaga keperawanan-nya selama kami
berhubungan.
Tanpa terasa, tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut
kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu
segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan
kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang
membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan
kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan
kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka
dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam
kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati
bibir kewanitaannya.
Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat
pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan
sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh
Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan
pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan
kubanting ke lantai. Gedubraaaak!
"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan
jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku
memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu
dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh.. ah...
ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat
kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras
dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua
puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu
es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya.
Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak
pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di
kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great...
baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya
dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi
dengan kelelelakianku. "Please Adi... setubuhi aku.. ayo.... ah...."
tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya
dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa
memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia
menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat
saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam...
dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat
dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat
kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Rian. Benar, mungkin karena
sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin
keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya
panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin
dalam.
Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku
terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku
dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku.
Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan
lidahku di kewanitannya. "Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa,
Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil
pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan
kupilin keras. "Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya
terlalu keras.
Tania semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan
kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu
yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan. "Aaargh...
oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku,
segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu
mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.
Sudah hampir 2 minggu ini Tania tinggal bersamaku. Selama itu pula
erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi sesuatu yang
biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang
dan setiap malam.
Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami
(tentunya saat Rian pergi). Rian sudah terbiasa mendengar
teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman
dengan seenaknya di depannya. Rianpun hanya menggerutu, "Huh... jadi
kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi
sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar.
Biasanya Tania masih sempat menggoda Rian dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut
dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun
kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu
demikian indahnya.
Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat
melihatnya berkemas.
"mau ke mana Tan...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"teman2 udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Josh pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba
meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan
situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di
dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Josh akan marah kalau ke rumah aku nggak ada".
Josh, lagi-lagi Josh! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak
puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan
kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat.
Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku
meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku
semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi
milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat
ini: "Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Tan!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa
di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera
kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin
marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya
sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan
kecintaanku itu dengan ganas. Tania berteriak kesakitan karena secara
alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja
kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah
memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil.
Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya
selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua
mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan
yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia
segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa
menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang
turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu
sakit ....
Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke kos-nya, tapi hanya pembantu
kosnya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya.
Tania... aku hanya minta maaf.
Di hari wisudanyapun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam
dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Taniakah?
Begitu kubuka ternyata Josh. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan
mendarat di mukaku. Josh hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk
surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang
merusaknya". Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Tania!
"Josh-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om
Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film
sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini.
Josh, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan
seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan
anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku....
Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Adi (Ah alangkah
senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Adi). Aku juga
menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa
mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat
kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji
perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku
sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya.
Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak
bisa hidup dengan cara itu. Josh, aku harap kamu mengerti dengan
pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu
sempat bertemu Adi, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak
bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself.
Tania."
Aku hanya termangu.
Catatan: Dua tahun kemudian, Rian pernah melihatnya di bandara Changi.
Tania bersama seorang anak perempuan usianya sekitar hampir 2 tahunan.
Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu gemetar
mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala kemungkinan...